12. Chance

6.4K 967 214
                                    

06.00



Mengkaji sebuah bebatuan karang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mengkaji sebuah bebatuan karang. Lumrahnya memiliki desain kokoh, tiada banding jika manik awam menilik. Tetapi, jika tersapu ombak pada sekian detik menit, berujung menipis juga di akhir.

Pun, sama halnya pada kondisi hati setiap insan.

Wanita itu duduk bersandar. Menatap lurus tembok putih, menunjukkan seulas raut lelah. Terjaga semalaman akibat menerima aksi tidak bermoral. Kantung mata semula bersih, kini terlihat menghitam. Manifestasi atas kondisi psikis yang mulai rumpang.

Sudah berpikir melakukan ajang bunuh diri, namun tidak memadai. Sebab, isi perabotan kamar terkutuk ini dirancang sanzu agar tidak mengindikasi bahaya mengancam, seperti vas dan segala antek-antek lain. Sumpah, terniat sekali.

Denting pendek telah merujuk angka 6, yang mana artinya Ia sudah terjaga selama 5 jam selepas dipaksa melakukan hal tak senonoh. Ketika acap terlelap pun selalu terputar peristiwa pembunuhan sang orang tua, bak kaset rusak. Lantas terbangun dan terjaga─lagi dan lagi.

"..sakit, mau pulang.." Meletakkan dahi pada lutut kiri, bersemayam guna menangis pelan. Jemari mengepal erat melampiaskan rasa sakit, takut, yang bercampur menjadi satu. Sebab, neraka hari keempat sudah bermula.

Terkurung 3 hari─yang memasuki hari keempat, sudah terasa seperti berabad-abad.

"Ck, selalu saja menangis. Aku muak mendengarnya." Desis sanzu.

Kalimat halus mengandung ancaman dirasa cukup membuat [name] merapatkan bibir. Dilihatnya sanzu sudah bangkit dari ranjang, mengenakan celana. Ia berkata lugu, "Sorry, i'm being rude. Apa masih terasa sakit?"

Cepat sekali merubah intonasi. Jadi, [name] hanya mengangguk takut guna mewakili wicara.

Sanzu sigap mengacak kasar surai merah muda. Lantas menjatuhkan seluruh atensi pada [name] yang kedapatan memakai kemeja miliknya. Kalau diingat kembali, he was ruined her clothes last night. It's ok. Terlihat kebesaran, but look so cute. Merangsek mendekat, sanzu menghadiahi kecupan lembut pada dahi, pipi dan berakhir di bibir [name].

"Aku pergi keluar sebentar. Be a good girl okay?"

Sepeninggal sanzu hanya hening. [name] mengacak rambut kasar. Tidak, ia tidak bisa hanya diam menangis tak berdaya layaknya tahanan eksekusi mati. Harap-harap pangeran berkuda putih datang membantu? Oh ayolah, ini bukan novel roman picisan.

Mengambil kruk. Bangkit berjalan terseok-seok menuju pintu kaca yang menghubungkan balkon, lantaran ingin melakukan kegiatan berupa memandang suasana luar. Kendati begitu, hingga ada suatu hal ganjal mengusik pikir.

Ialah, pintu kaca menunjukkan sebuah celah kecil. Jika biasanya akses pintu selalu terkunci, namun hari ini tidak. Apakah sanzu lupa?

Kesempatan emas. [Name] tergesa-gesa menggeser pintu, dan mendapati sebuah hadiah berupa semilir angin sejuk berhembus menyapa rupa. Ia melangkah perlahan, secara bagian inti masih terasa nyeri.

Ini sebuah bukti nyata. Pemikiran kosong akibat terguncangnya mental membuat [name] bersiap untuk melakukan ajang bunuh diri.

Kaki mungil bagian kiri mulai menaiki pembatas balkon. Menghirup kuat udara segar, tak lupa juga merentangkan kedua tangan. Tubuh ringan miliknya sudah siap terjatuh ke tatanan keras inti bumi, barangkali hancur nantinya.

Kendati begitu, sebelum kilasan raut sedih sang orang tua menyergap otak. Memborbardir begitu saja. Terlebih lagi, kalung salib miliknya yang menggantung di leher mulai menyadarkan diri tatkala ia akan melakukan aksi tak terpuji.

Kami-sama...

Begitu tersadar, [name] merosot pelan. Ia menunduk, menangis seraya menggenggam erat kedua tangan. "Maaf, maafkan aku.. Kami-sama, kaa-san, tou-san. Maaf karena sudah berpikiran untuk bunuh diri..."

Nafas tercekat, seperti lumpur menggumpal penuh di kerongkongan.

Tenang sebentar, memasok oksigen secara teratur. Ia perlahan bangkit dengan sisa-sisa air mata. Kembali menaiki pembatas balkon lagi─bukan, bukan untuk bunuh diri, melainkan meminta pertolongan pada penghuni apartemen bawah.

Lupakan masalah nyeri yang mendera hebat pada kakinya yang patah. Tidak apa, ini hanya sebentar.

"Ayo [name], jadilah wanita pemberani." Bisiknya.

Mengambil ancang-ancang agar tolakan menuju balkon bawah tidak sia-sia, karena mengandung risiko berupa jatuh ke tumpukan aspal. Dan ya, berkat upaya dan doa pada akhirnya [name] mendarat selamat dengan bertumpu pada lengan kanan, walau menimbulkan suara gedubrak yang cukup mengagetkan penghuni dalam.

Lantas terbukalah pintu balkon pemilik apartemen, menyuguhkan seorang gadis bersurai hitam panjang legam. Maniknya membola, terkejut lantaran mendapati seorang wanita terdampar di kediamannya, disertai luka lebam menghiasi sekujur tubuh, kaki yang terbalut perban, serta hickey terpampang jelas di leher.

Astaga, sudah pasti dia mendapat tindak kekerasan secara fisik dan seksual!

Tergopoh-gopoh, gadis itu menghampiri [name] yang masih terduduk. "Nona? A-ada apa ini? Apa yang sudah terjadi denganmu astaga!"

"Siapa yang menyakitimu nona!? Akan aku laporkan dia ke polisi agar mendapat hukuman setimpal! Kamisama, Lihatlah hasil perbuatannya. Biadap sekali!"

Haru pilu menggenang pada pelupuk, tak disangka ia bisa lepas dari jeratan sanzu. Menangis lagi. Sepertinya sudah menjadi hobi tersendiri.

[name] menatap penuh harap, jemarinya menggenggam erat, "Aku mohon, Tolong selamatkan aku..."



 ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄



Meninju tembok hingga sedikit retak, amarahnya mulai mengobar. Obsidian berkilat siap membilah benda sekitar. Begitu, kondisi sanzu saat ini.

Baru saja ditinggal sebentar, wanita itu sudah hilang ditelan angin? Skeptis, Agak tidak masuk akal. Namun sudah terbukti nyata dengan berupa pintu kaca balkon terbuka lebar, dan kruk tergeletak pada pembatas.

Benar-benar menguji kesabaran. Sial, Ia kecolongan.

Melirik sekitaran balkon, sanzu tidak menemukan barangkali jejak kabur dari si wanita. Memang dia memiliki keturunan laba-laba kah? Tidak kan. Sialan, ia harus segera mengecek cctv.

Jemari sanzu mencengkeram kuat pembatas,  "Aku tidak akan mengampunimu, sialan." Geram sanzu menaruh dendam.

"Akan kubuat kau cacat seumur hidup, [name]"

"Akan kubuat kau cacat seumur hidup, [name]"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

 ̄ ̄ ̄ ̄ ̄ ̄

To be continue

𝐑𝐞𝐬𝐭𝐫𝐢𝐜𝐭𝐢𝐨𝐧 ─Sanzu Haruchiyo √ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang