Jam menunjukkan pukul sembilan pagi. Nawa nekat tetap pergi ke kampus. Dengan penampilan yang ... seperti itulah. Mata yang bengkak, dan sudut bibirnya yang sobek. Ia masih baru menjadi mahasiswi, tak enak rasanya jika sudah mengambil absen.
Saat dirinya terbangun, ternyata ia berada di kamar tamu. Para pelayan yang menggotong dirinya, dan mengganti pakaian, juga mengobati bekas lecutan dan juga bibir yang sobek itu.
Dirinya berlaku seperti biasa, seakan-akan kejadian semalam tak pernah terjadi. Kini gadis cantik itu tengah berada di perpustakaan, sendirian. Tampak gadis yang memiliki tinggi 168 cm itu meloncat-loncat karena tak sampai meraih buku yang ingin dibacanya.
Di belakang gadis itu ada seorang lelaki yang menahan tawa, tapi Nawa masih tak menyadarinya.
Nawa terkejut ketika pria itu mengambilkannya buku, dengan senyum tipis yang terpatri.
"Makasih," ucapnya tersenyum, ketika laki-laki tersebut mengulurkan buku padanya.
"Sama-sama." Setelah mengatakan itu, sang empu langsung pergi ke salah satu meja baca. Mendudukkan diri di kursi yang tersedia.
'Lucu,' batinnya, menyunggingkan senyum kecil.
"Astaghfirullah." gumamnya sembari menggelengkan kepala. Setelahnya ia mempokuskan diri pada buku yang dipegang.
'Aku kenapa sii, akhir-akhir ini?'
***
"Are you really okay?" Dea masih tak percaya dengan jawaban yang dilontarkan sahabat barunya itu.
"Dea ... tadikan aku udah bilang, kalo aku baik-baik aja." ucap Nawa sambil meminum air mineral di depannya.
"Baik gimana? Lo pasti abis nangis kan semalam? Jawab gue dengan, jujur! Make-up lo ga terlalu nutupin. Gue masih bisa liat." Dea masih keukeh mengintrogasi Nawa.
"Iya, aku habis nangis, semalam. Kucing tetangga aku mati," jawabnya ngawur.
Dea menoyor kepala Nawa, sangking kesalnya. "Gue serius ege!"
"Udah ah, jangan ditoyor-toyor! Ntar otak aku jatoh,"
"Serah lo dah, serah!" kesalnya, Dea menyuapi satu pentol bakso dengan kekesalan, hingga ia tersedak. Pentol bakso itu menyangkut di kerongkongannya, sulit untuk di telan, susah juga untuk di keluarkan.
"Uhuk ... khuuk!" perempuan itu menepuk-nepuk lehernya sendiri.
"Dea ... kamu kenapa? Aduh, makanya makan itu pelan-pelan! Kalo mati gimana?" Nawa kalang-kabut. Ditepuknya punggung Dea kuat-kuat, hingga satu pentol bakso keluar dari mulut sahabatnya itu.
Setelah pentol itu keluar, Dea terburu-buru meminum es tehnya dengan rakus. Matanya memerah.
"Lo mah! Sakit punggung guenya. Mana pakek doain gue mati lagi, kalo jantung gue kepleset gimana?" ucapnya sedikit kesal. Perempuan itu masih mengelus lehernya dengan pelan.
"Ya maap, abisnya aku khawatir liat kamu keselek pentol bakso, aku juga bukannya doain kamu mati,"
"Udah lah, ayok ke kelas, lima menit lagi masuk," ucap Dea sembari menyampirkan ranselnya di pundak.
***
Setelah pulang kampus, Nawa menemani sahabatnya itu untuk pergi ke mall. Katanya, bosen di rumah. Orang tuanya juga belum pulang dari California, seperti biasa, urusan bisnis.
Nawa juga telah mengirimi Arsha pesan, meminta izin menemani sahabatnya itu, walaupun pesannya hanya dibaca, tanpa dibalas."Dea ..., aku takut," Nawa menatap was-was eskalator di depannya ini.
"Kalo kaki aku nyangkut disana, gimana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
ARSHAWA [END]
أدب المراهقين[𝗦𝗘𝗕𝗘𝗟𝗨𝗠 𝗕𝗔𝗖𝗔 𝗙𝗢𝗟𝗟𝗢𝗪 𝗗𝗨𝗟𝗨 𝗬𝗚𝗬 (ʃƪ^3^) 𝐂𝐨𝐯𝐞𝐫 𝐛𝐲: @AlettaLousia7 *** Pernikahan yang tak pernah Nawa bayangkan, sedang ia jalankan. Dirinya di jodohkan dengan seorang laki-laki pembisnis besar yang namanya sudah...