Bagian 27 || Titik Terendah

53.4K 3.7K 197
                                    

"Lepasin aku ... jangan, jangan lakuin itu," lirihnya. Tubuhnya seakan melemah.

Deon, ia tersenyum miring. Belum sempat ia menyentuh bibir gadis tersebut, suara gubrakan terdengar.

Brakk!

Pintu terbuka dengan lebar, setelah di dobrak dari luar.

"Bedebah sialan!" Andre, ia menoleh kearah Nawa yang sudah sesegukan itu. Lalu beralih ke sudut kamar, di mana hijab gadis itu berada. Ia mengambilnya, lalu berjalan mendekat. Memberikan hijab tersebut pada pemiliknya.

Nawa dengan segera mengambil dan memakainya. Ia meringkuk ketakutan, memeluk lututnya sendiri, kala pria yang tak di kenali nya itu, membabi-buta seseorang yang sudah melecehkan nya.

"Hiks ..." merasa takut, ia bangkit. Berlari keluar dari tempat menjijikan itu. Ia bahkan melupakan sling bag nya yang tertinggal.

Hujan masih mengguyur kota, di tengah malam itu. Beberapa pasang mata menatapnya aneh, sebelum ia benar-benar keluar dari sana.

Setelah berhasil keluar, dari tempat haram itu, ia masih berlari tak tentu arah di bawah guyuran hujan. Ia sama sekali tak memedulikan keadaannya, yang bisa saja drop setelah ini. Air matanya meluruh bersamaan dengan air hujan.

Terus berlari beratus-ratus meter, ia berhenti di sebuah taman kecil. Hanya lampu jalan yang menerangi. Ia meluruhkan badannya di hamparan rumput, duduk disana dengan penuh luka yang dirasa.

"ARGGH!" pekik nya kuat di antara derasnya hujan. Suaranya bersahut-sahutan, dengan suara petir yang menggelegar. Seakan dunia mengasihinya, menemaninya menumpahkan lara di tengah-tengah tetes airnya.

Dadanya serasa remuk redam. Amat sakit di rasakannya. Dirinya ingin protes atas apa yang didapatinya. Namun, harus protes pada siapa? Apa yang terjadi padanya, itu sudah menjadi takdirnya. Sudah lebih dulu tertulis di lauhul mahfuz nya, sebelum ia tiba di dunia.

Apa rencana Allah, yang telah di siapkan untuknya? Mana bahagia, yang masih menjadi sebuah tanda tanya? Ia, lelah ....

Sekarang, apa lagi? Kejutan apa lagi dari semesta, yang menimpa dirinya? Kenapa dunia seakan membencinya?
Dosa besar apa yang di lakukannya? hingga tak ada yang berpihak padanya.

Kini, gadis itu berada di titik terendah. Hanyut seorang diri, dalam jurang luka. Tak ada uluran tangan yang menyambutnya. Tak ada bahu, yang menjadi sandarannya. Walau banyak tetes air mata yang ikut bersuara, bercerita di atas sajadah, menumpahkan semua keluh kesah pada Allah. Ia ... tetaplah sama, dengan manusia biasa. Ia juga memerlukan seseorang sebagai tempat singgahannya. Ia juga butuh seseorang, yang selalu memberi semangat, atas ujian dunia yang fana.

Kini, ia tenggelam di kesunyian. Seorang diri, tanpa ada yang menemani.

"Awa, pengen ikut bunda ... Awa capek, bun." ia menengadah keatas langit. Memejamkan mata, membiarkan tetes hujan berjatuhan tepat di wajahnya.

Ingatannya kembali berputar, pada kejadian tadi. Air mata pun kembali luruh, mengingat hal itu.

Isak tangisnya terdengar begitu memilukan. "Awa ... Awa gagal jaga mahkota Awa. Laki-laki itu, udah ngelihatnya. Dia juga lancang sentuh Awa. Awa ..., Awa hina. Awa udah ngelakuin dosa yang di benci Allah." tangannya mengusap wajah, badannya sudah bergetar hebat saat ini. Antara dingin, juga sakit yang tak tertahan.

"Ayah, bunda, kecewa ya?" ia memejamkan mata, teringat akan kata-kata ayahnya dulu, sewaktu ia masih kecil.

"Rambut perempuan itu adalah mahkotanya. Dan mahkota harus tetap terjaga. Tidak sembarang orang bisa melihat dan menyentuhnya. Itulah seorang perempuan harus menyembunyikan rambutnya. Mahkotanya. Sebagai perlindungan untuk dirinya. Putri ayah, paham? Hmm?" Nawa kecil mengangguk lucu. Ia mendongak, menatap wajah sang Ayah.

ARSHAWA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang