deep 🍂

5K 726 59
                                        

Mahesa tidak tau, ini pertama kalinya dia merasa panik dengan Jena. Dia khawatir sekaligus takut. Dia tidak suka kehidupannya, tapi dia mulai menyukai anaknya.

Dia merasa menyesal karena telah menyia-nyiakan bayi dalam kandungan Jena.
Bayi tak berdosa itu harus menanggung penderitaan dan dibenci ayahnya sendiri.





Sejak tadi Mahesa berada didalam ruangan yang dimana terbaring gadis pucat pasih serta wajah tenangnya saat tertidur.

Mahesa masih setia menatap wajah Jena. Entah kenapa hati Mahesa sedikit tenang sekaligus nyaman.

Gadis itu tampak cantik walaupun bibirnya pucat, mata sayu dan pipi yang sedikit berisi.
Mahesa menarik sudut bibirnya, mengingat apa yang Jena katakan kemarin.

Mahesa sangat ingat, bagaimana Jena mengungkapkan perasaannya didepan Devan kemarin.
Mahesa juga merasa aneh, kenapa dia seperti ini. Selalu tersenyum jika mengingat pengakuan Jena.

"Mahesa," panggil Tania di ambang pintu.

"Mama" Mahesa bangkit dan menghampiri Tania.

Mahesa langsung memeluk tubuh Tania dan dibalas oleh Tania. Dekapan hangat sang ibu dapat membuatnya lebih baik.

"Kamu janji setelah ini kamu harus jaga Jena, jangan sia-siakan dia lagi" Mahesa mengangguk pelan. Tania mengusap punggung Mahesa.

"Janji setelah Jena bangun kamu minta maaf" Mahesa mengangguk lagi.

"Emmhhh...,"

Suara Jena membuat Mahesa dan Tania menoleh.

Jena terlihat panik dan langsung duduk, dia seperti orang bingung. Matanya berkaca-kaca, menatap Mahesa yang menghampirinya.

"Bayi?" Ucap Jena kalut

"Dia nggak apa-apa, tapi dia lemah, jangan banyak gerak" ucap Mahesa halus

Jena menangis, dia sangatlah takut. Dia takut kehilangan apa yang sudah dia jaga selama ini.

Tania lebih memilih keluar, karna dia akan membiarkan Mahesa menyelesaikan masalahnya.

Mahesa mendekati Jena lalu memeluknya.
Mahesa mencium kepala Jena dengan lembut. Sedangkan Jena menangis didada Mahesa.

"Maafin gue, gue udah jahat sama lo"

"Gue janji mulai sekarang gue bakal jaga anak ini, karna gue sayang sama dia"

Jena melepaskan pelukannya, lalu menatap dalam Mahesa.

"Gue janji, gue bakal belajar nerima lo"

Jena kembali menangis, dia memeluk tubuh Mahesa lagi, bahkan lebih erat dari sebelumnya.

"Gue akan biarin lo sayang sama gue, dan gue bakal nerima itu dengan senang hati. Tapi maaf untuk sekarang gue belum bisa ngasih perasaan apa-apa buat lo"

Kenyataan yang harus Jena dengar memang menyakitkan, tapi dia juga sadar kalau mungkin hatinya sudah jatuh terlalu dalam pada Mahesa.
Jena yakin, suatu saat nanti pasti dia akan mendapatkan banyak cinta dari Mahesa.

"Kak Mahesa janji ya, jangan pernah bilang anak ini anak haram lagi" ucap Jena berkaca-kaca

"Gue janji. Lo bisa pegang janji gue, lo boleh hukum gue kalo gue jahat sama anak ini lagi"

Diam-diam Tania dan Bayu memperhatikan mereka dari balik jendela kaca ruangan Jena. Mereka tersenyum melihat bagaimana Mahesa sedikit berubah. Tania dan Bayu berharap Mahesa bisa sepenuhnya menerima Jena dengan baik.

"Jadi pengen cepet-cepet gendong cucu" gumam Bayu yang masih menatap anak-anaknya.

"Ihh pa, nanti dulu. Mama masih pengen manjain Jena" sahut Tania

"Emangnya kalo Jena udah lahiran kamu ngga bisa manjain dia, ma?"

"Papa ngga tau sih, kalo wanita hamil tuh lebih manja daripada pas dia ngga hamil. Lagipula mama masih pengen ngasih perhatian banyak ke Jena, nanti kalo mama punya cucu perhatiannya harus dibagi-bagi"

"Jena anak baik, dia pantes dapetin kebahagiaan"

"Yaudah kita bakal urus Jena kaya anak sendiri, papa juga bakal sayang sama cucu papa" Bayu memeluk istrinya dengan sayang.

"Lepasin, pa. Nanti ada yang liat"

"Biarin, emang mereka aja yang mau pelukan"




















"Jena, huaaaa" Tara langsung menerobos masuk ke ruang rawat Jena dan langsung memeluknya.

"Ra, aku ngga bisa napas"

"Lo baik-baik aja, kan? Ponakan gue ngga apa-apa kan? Sumpah Jen, gue takut lo sama anak lo kenapa-kenapa" ucap Tara tanpa henti

"Kemaren sempet lemah, tapi dokter bilang aku harus banyak minum vitamin dan ngga boleh banyak gerak dulu"

"Gue lega banget, Jen."

"Kamu siapa yang ngasih tau aku disini?"

"Kak Rey. Dia bilang kak Mahesa telfon kak Saka buat ijinin dia ngga masuk sekolah karna jagain lo disini"

"Tapi siapa yang bikin lo kaya gini? Ha!? Bilang sama gue, bakal gue habisin dia"

"Raina udah tau soal anak ini sama pernikahan aku. Dia marah banget waktu tau kalo ini anaknya kak Mahesa"

"Terus maksud lo dia yang dorong lo sampe jatuh dari tangga?" Jena mengangguk

"Kurang ajar si Raina. Gue bejek-bejek baru tau dia" umpat Tara

"Tapi aku takut, Ra. Aku takut kalo Raina lakuin hal yang lebih buruk sama aku. Apalagi sama bayi aku"

"Lo tenang aja, Jen. Gue sama temen-temen kak Rey bakal jagain lo kok"

"Aku cuma takut kalo Raina bakal ngasih tau ke semua kalo aku hamil"

"Ngga usah pikirin yang aneh-aneh. Cukup lo jaga anak lo, dan sisanya kita yang urus" sahut Jay yang barusaja masuk bersama Rey, Saka dan Mahesa.

"Bener tuh kata Jay. Lo fokus sama kehamilan lo, gue ngga mau Tara nangis-nangis gara-gara lo sakit" pungkas Rey

"Makasih ya. Kalian udah banyak bantu aku, aku seneng bisa kenal kalian semua"

"Makasih kak Mahesa, udah mau ngenalin aku ke mereka" Mahesa hanya tersenyum. Melihat respon baik dari Mahesa, Tara merasa sangat lega, karna dia tidak akan membiarkan Mahesa terus-menerus menyakiti Jena.

"Cepet pulang, Jen. Gue kangen makan bakso dikantin bareng lo"

"Doain ya, supaya badan aku udah lebih fit besok"

"Kita selalu doain lo kok, Jen" jawab Saka

M A H E S ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang