Aku menyusuri gang kecil menuju rumahku dengan berjalan kaki. Tak peduli siang ini panas matahari seperti ingin membakar bumi. Kusenandungkan lagu-lagu k-pop populer sambil memainkan ujung kemejaku. Aku terlihat gembira, lebih tepatnya berusaha terlihat gembira.
Setelah Yibo menyuruhku menginap di tempatnya selama seminggu, aku seperti dipaksa masuk ke kebun binatang dan tinggal dengan singa jantan. Aku tertekan.Tapi bukan Xiao Zhan namanya, jika hanya bisa menangis dan bermuram durja. Meski dipaksa menjadi pembantu juga, aku masih menangani nya selama tidak ada yang mengusik keluargaku.
Kadang aku iri, melihat keluarga kaya di luaran sana. Mereka bisa membeli apapun yang anaknya inginkan, bisa melakukan liburan ke luar negeri dan mewujudkam mimpi-mimpi. Sedang aku? jika ingin sesuatu cukup menghayalkannya saja. Liburan terjauhku adalah ke bukit bintang, 5 km dari rumah Luhan.
Ibu menungguku di depan pintu sambil menyilangkan kedua tangannya di dada. "Bagaimana belajar bersama dengan teman barumu itu?"
"Cukup menyenangkan, Bu."
Ah, aku berbohong. Nyatanya, satu hari bersama Yibo sungguh seperti berjalan di gurun sahara. Panas, gerah dan tertekan. Ada perkelahian, ada paksaan, ada hukuman. Tidak ada hal yang menyenangkan untuk diingat. Dari semua hal buruk yang aku sebutkan, justru aku ingin cepat kembali ke sana. Entahlah, Yibo sudah jadi racun yang kini mulai menyebar perlahan dalam hidupku.Aku melihat adikku di ruang tamu, aku melewatinya. Enggan untuk menyapa, takut ia akan bertanya banyak hal tentangku dengan teman baruku yang kurahasiakan darinya.
"Kakak!" teriaknya, saat kakiku menginjak ubin di tangga pertama. Aku menoleh, berusaha tersenyum senatural mungkin. Jika wajahku kusut seperti cucian yang barung digiling, ia akan semakin curiga dan makin banyak bertanya. Aku sungguh tak siap meladeninya.
"Luhan Ge, mencarimu semalam!" ucapnya sambil mengunyah keripik kentang di meja.
"Kau jawab apa?" Kini aku yang aktif bertanya, karena penasaran.
"Aku bilang belajar bersama teman baru, begitu."
Syukurlah, adikku tidak tahu jika teman baruku itu bernama Yibo. Jika sampai bocor, aku khawatir Luhan akan berpikiran yang bukan-bukan, tentang hubunganku dengan mantan pacarnya itu.
Kamarku sedikit berantakan, aku tahu siapa pelakunya. Dia pasti adikku Cheng Xiao yang senang sekali meminjam celana dan kaosku saat berkumpul dengan teman-temannya.
Aku dan Cheng Xiao seperti dua magnet yang saling bertolak belakang. Aku terlahir sebagai pria dengan kondimen yang ke wanita-wanitaan, melankolis, cengeng, cupu, penakut dan suka menyendiri. Sedangkan Cheng Xiao memiliki paras yang cantik tapi tindak tanduknya seperti preman. Suka berkelahi, pemberani, urakan dan gampang bergaul.
Aku heran, ngidam apakah ibu saat mengandungku. Satu-satunya yang bagus dariku, aku cantik dan manis bahkan lebih cantik dari wanita pada umumnya, setidaknya aku sering mendengar pujian itu dari ibu-ibu di komplek dekat rumah. Aku tak tahu apa itu bisa disebut pujian atau malah celaan. Aku juga punya hati malaikat, kata mereka. Karena gampang simpati, aku selalu ikut bergotong royong membantu tetangga yang kesusahan. Juga karena sifatku yang melankolis, aku tak pernah mendendam pada siapapun. Setiap perkara kuanggap selesai dengan perkataan 'maaf' dari mereka. Kecuali Yibo, mungkin sifatnya yang menyebalkan membuatku selalu ingin membalas perlakuan buruknya. Dulu, aku tak punya nyali untuk melakukannya. Sekarang pun tidak. Tapi aku punya banyak waktu untuk mengerjainya seperti tadi pagi.
.
.Aku memasukkan piyama dan cd ke tas ransel milikku, kujejalkan tepat di belakang buku tulisku. Ini hari ke duaku akan menginap dan belajar di rumah Yibo. Sebelum memasang resleting rasnsel hitam itu, aku mengambil body butter di meja rias.