Fall Down

1.9K 236 20
                                    

Setelah seminggu melewati cobaan hidup. Ya, itu cobaan hidup. Saat kita terpaksa tinggal seatap bersama orang yang awalnya kita benci. Bersama orang yang paling menyebalkan, paling gila dan biang onar.

Akhirnya aku bisa menghirup udara bebas. Sore dan malamku yang menyiksa sudah berakhir. Aku bisa kembali menikmati kesendirianku di kamar. Bersama buku catatan kecil dan boneka beruang milik Cheng Xiao.

Ujian yang sebenarnya menungguku esok pagi. Ujian terakhir untuk menghadapi kelulusan. Ini perjuanganku yang terakhir. Tentu di sini aku harus berusaha dengan maksimal. Agar namaku termasuk dalam daftar siswa yang lulus nanti.

Aku sudah berada di kelas pagi sekali. Membolak balik halaman buku, membaca deretan huruf dan angka sesekali. Menyimpannya di memori otakku. Kelas masih sepi, hanya ada beberapa pelajar yang duduk di bangku mereka.

Aku melihat Luhan di pintu masuk, berdiri bersama seseorang yang sudah bisa kutebak. Mereka masih saling melepas, sebelum akhirnya Sehun kembali ke kelasnya sendiri.

Luhan meletakkan tasnya di dekatku. Mengamatiku yang sedang serius belajar.

"Kau belajar??? sepagi ini??"
Luhan tampak tercengang.

Aku menoleh ke arahnya, tersenyum kecil. Ini pasti pemandangan yang aneh bagi Luhan. Ia jarang melihatku begitu serius belajar seperti sekarang ini.

Setidaknya dalam tiga tahun menjadi siswa. Baru kali ini aku merasa sangat antusias menghadapi ujian. Bahkan sangat nyaman saat mengerjakan soal. Tidakkah semua ini karena kegigihanku belajar? Yibo juga ikut andil kan? Bahkan bisa jadi dia yang berperan besar dalam perubahanku ini.

.
.

Omong-omong soal Yibo. Ia sudah tak lagi bersama gengnya sejak ujian dimulai. Aku jarang melihatnya di kantin dan jarang berpapasan dengannya di sekolah. Aku tahu ia lebih sering menghabiskan waktunya di perpus. Tapi tiap kali aku berusaha mendekati, dia selalu menemukan alasan untuk menghindar.

Dia juga tak pernah datang lagi ke rumahku. Teman se-geng Yibo tampaknya tak mempermasalahkan saat ia pulang lebih awal, tidak ikut perkumpulan atau ingin nongkrong di tempat favorit mereka. Ada apa dengan Yibo sebenarnya?

Aku mengikuti Yibo dengan sangat nekatnya. Suatu hari sepulang sekolah di hari sabtu. Ia menaiki motor seperti biasa, dan aku menaiki taxi yang belum kutahu berapa ongkosnya.

Aku mengikuti Yibo seperti penguntit, mengendap-endap dari parkiran hingga ke apartemennya. Tak ada sesuatu yang mencurigakan dari Yibo. Semua berjalan normal seperti lalu lintas. Aku menunggu ia memasuki lift, dan aku menaiki lift no. 2

Ketika sampai di lantai apartemen Yibo, aku melihat ia masuk ke dalam. Dengan gerakan yang sama seperti biasanya. Aku mendekati pintu perlahan. Menoleh ke kanan dan kiri. Dirasa keadaan mulai sepi, kuletakkan telingaku di daun pintu untuk mencuri dengar suara dari dalam.

Meski tak begitu jelas, aku mendengar sayup-sayup suara Yibo sedang berbicara dengan seseorang. Karena rasa ingin tahuku yang terlalu tinggi, aku menggunakan kedua tangan sebagai penahan. Agar telingaku bisa lebih menempel ke pintu.

Aku tak memperhitungkan hal terburuk, seperti Yibo tiba-tiba membuka pintu dan tubuhku terhuyung ke depan. Menimpa tubuh Yibo.

Aku melihat wajah terkejut Yibo. Mengetahui bagaimana ia diintai sejak tadi. Oh, matilah aku. Mau diletakkan di mana mukaku kali ini.

Yibo melotot, aku harap ada portal agar aku bisa lari ke dunia lain saat ini juga. Mata Yibo, ya Tuhan ia benar-benar seperti ingin mencekikku dan menguburku hidup-hidup.

"Kau mengikutiku?"

"Memang, kau pikir siapa dirimu berani mengintaiku seperti ini, hah?" Yibo menunjuk dadaku dengan jarinya.

"Dasar bodoh, tidak bisakah kau gunakan otakmu untuk hal lain, selain mencampuri urusan orang lain?"

"A-aku hanya ...." mulutku tersegel, aku tak bisa mengeluarkan bahkan hanya sebait kata.

"Hanya apa? Hanya ingin tahu kehidupanku? Bisakah kau tidak menggangguku? Kau tahu, caramu ini membuatku muak. Tak ada yang berani mengganggu hidupku sampai sejauh ini." Yibo menepuk-nepuk dadaku seperti aku ini penjahat yang sudah membuat hidupnya berantakan.

"Enyahlah!"

Satu sentakan dari Yibo, membuatku terdorong ke belakang sebanyak tiga langkah. Bahuku terbentur kusen pintu. Tapi aku tidak merintih sakit.
Hatiku jauh lebih sakit saat ini.

Aku berbalik pergi tanpa berkata lagi. Aku memang bodoh dan cupu, kuakui itu. Aku penakut dan cengeng, banyak orang membulliku, kusadari itu. Tapi sejauh aku menjadi manusia cupu, bodoh, penakut dan cengeng tak ada yang mengatakan aku pengganggu yang memuakkan. Dalam deretan kamus besar bahasa manusia, Yibo telah memilih kata yang tepat untuk menjatuhkanku, ke lantai terbawah.

Aku bisa terima pembullian dan hinaannya yang sering menyebutku cupu dan bodoh. Tapi tidak kali ini. Kata-kata Yibo, kalimat yang ia susun sedemikian rupa, sukses sekali dalam membuat harga diriku berserakan ke lantai. Aku bahkan tak sempat menjawab, kenapa aku mengikutinya.
Aku hanya terlalu menghawatirkannya, terlalu khawatir dan ingin tahu, itu salahku. Yibo bukan siapa-siapa, dia hanya teman. Aku juga bukan orang yang penting dalam hidupnya. Harusnya aku tahu batasan itu. Betapa bodohnya aku. Pantaslah aku dipanggil cupu, aku tak bisa fungsikan otakku dengan benar, seperti kata Yibo.

Setengah berlari, saat aku ke luar dari gedung apartemen Yibo. Aku melihat taksi kosong di seberang jalan. Sungguh, aku hanya ingin pulang ke rumah dan menangis sepuasnya di kamar. Mataku sudah penuh dengan genangan, aku tak tahu sampai kapan bisa menahannya.

Pandanganku sedikit kabur, disebabkan air mata yang kutahan agar tak meluncur. Aku berlari ingin menyeberangi jalan. Sudah kulihat kanan kiri, pikirku sudah sepi. Karena pandangan yang terbatas, aku tak sadar. Ada mobil yang melintas dari arah kiri. Aku merasa seperti dalam drama, berteriak saat mobil itu sudah di depan mata.

Tapi kau tahu, teriakanku tak panjang. Saat aku mulai buka mulut, mobil itu sudah menghantamku. Aku tak ingat apa-apa setelahnya. Mungkin jatuh, terseret atau terlempar. Tidak tahu bagaimana jadinya tubuhku, apakah mendarat di sisi trotoar, di atas kap mobil atau jatuh dengan sempurna ke aspal.

Aku tak bisa bayangkan itu semua. Selagi malaikat maut mengawasiku di belakang. Apakah ini waktunya? Tidakkah ini terlalu cepat? Aku belum meminta maaf pada orang tuaku dan semua orang. Jangan bawa aku pergi. Sebelum aku mengatakan isi hatiku pada seseorang.








Tbc.





Kok gini nasib Zhan pada akhirnya

Me : Tenang, endingnya bakal manis kok, klo gk percaya baca pdf-nya yg udah tamat melalui admin Zaylotus di nomor ini 086928603147

My Lovely Enemy (1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang