Lenganku ditahan, kakiku tak bisa kugerakkan. Aku diam, mematung di situ menahan amarahku. Aku berbalik ingin memarahinya. Meluapkan sumpah serapah yang selama ini hanya bersarang di kepalaku.
Seperti bisa membaca gerakanku, ia memutar tubuhku ke belakang. Menghadapnya, menarik pinggangku melekat padanya. Aku berdebar, tak tahu dari mana asalnya, jantungku tiba-tiba ingin berlari ke luar. Aku melihat matanya, berusaha menakuti dengan kilat kemarahan.
Tapi ia tak membiarkanku tenggelam dalam emosi. Mengambil sebelah tanganku dan menyatukan jari-jari kami.
"Berdansalah sebentar saja, setelah ini kau boleh menamparku," ucapnya setengah berbisik tepat di samping telingaku.
"Aku akan memperhatikan langkahku, agar tak membuat kakimu sakit," bisiknya lagi.
Jantungku berpijak kembali, api yang berkobar di kepala mendadak padam seperti kompor gas yang dimatikan. Hanya tersisa asap, yang terpancar di wajahku tanpa senyuman.
Ia menggerakkan kaki ke kanan dan ke kiri seperti dansa cinderella dan pangeran. Secara naluri aku mengikuti langkahnya yang cukup pelan dan hati-hati. Tanpa ada yang memerintah, kukalungkan sebelah tanganku ke lehernya, menatapnya secara cuma-cuma. Bebas dari emosi dan rasa dendam.
Entahlah hatiku ini terbuat dari apa. Begitu lemah dan mudah diperdaya. Hanya karena sikap yang romantis, aku melupakan kekesalanku. Sakit hati yang kupuji-puji dari kemarin. Harga diri yang ingin kupegang erat, terlepas begitu saja di bahunya yang dengan tegap membimbingku mengikuti irama.
Aku tenggelam, benar-benar lupa daratan itu di mana. Aku tak merasakan kakiku yang nyeri lagi. Seakan aku ini sedang memainkan peran cinderella. Tak ada yang bisa menghentikanku, kecuali suara denting jam tengah malam itu.
Ini saatnya, ketika MC mengetuk palu dan musik berhenti. Aku seperti ditarik dari dunia fantasi, ke dunia yang kini sedang kupijaki.
Ternyata banyak mata yang menatap kami. Selain itu, ternyata kami yang menyelesaikan dansa terakhir.
Mc membiarkan suara riuh siswa mengubur suaranya sendiri."Siapa pemenangnya?" teriak Mc di panggung.
"Yizhan! Yizhan! Yizhan!" Aku tak tahu dari mana asal nama itu. Mereka menyerukannya seperti para shipper perempuan di tengah konser boyband korea.
"Apa alasan kalian memilih Yibo dan Zhan? sang Mc memanasi.
"Aku mau mendengar jawaban kalian satu-satu," ucapnya lagi."Mereka serasi!"
"Tarian mereka juga natural!"
"Pakaian mereka mencerminkan satu dengan lainnya."
Refleks aku melihat pakaianku sendiri, lalu menoleh ke arah Yibo. Memastikan kebenaran ucapan salah satu siswa.
Pakaian serba hitam milikku yang sedikit glossy. Baju hitam milik Yibo yang jasnya dipenuhi aksen berkilau. Ah, apa aku sebodoh ini. Baru menyadari pakaian kami yang serupa.
Yibo mengangkat bibirnya, menampilkan senyum iblis yang membuatku tersadar akan sesuatu. Apa semua ini rencana Yibo? Pakaian yang sama persis? Ji Li yang tiba-tiba membatalkan janji? dan Baekhyun yang datang menjemputku ke rumah.
Aku mengamati Yibo dari samping, jelas sekali ia menunggu pengumuman dengan penuh harap. Teriakan 'Yizhan, Yizhan' mulai senyap. Semua menunggu hasil keputusan juri yang dipimpin ibu Yuna, selaku guru kesenian.
Ibu Yuna berdiri di tengah panggung, tersenyum lebar menyapa seluruh orang yang ada di ruangan.
"Zhan sangat berusaha keras berdansa dengan pasangannya malam ini, padahal kakinya baru pulih, pasangannya juga bisa membimbing langkah Zhan tanpa membuatnya cidera. Mereka juga terlihat serasi dan natural."