Aku terpaku di tempatku, dengan Yibo yang tersenyum seperti kucing yang menemukan tikus buruannya.
"Hai!"
Kuangkat tangan kananku untuk menyapanya. Sapaan yang kaku dengan senyum yang terpaksa aku buat. Bisa marah nanti ibuku. Jika melihatku tidak bersikap ramah pada tamu.
Aku tak tahu dari mana dia mendapatkan alamat rumah, dan bagaimana seorang Wang Yibo di sela kesibukannya kencan bersama para gadis. Masih menyempatkan diri untuk menjemputku secara langsung.
Seperti aku ini orang penting saja. Padahal aku hanya pelayannya. Yibo sudah menyebutkan itu beberapa kali, di depan teman-temannya.
Yibo menatapku dengan gayanya yang sok cool. Adikku pasti tertipu karena ini. Jika ia tahu Yibo yang ia anggap keren adalah seorang pecundang yang suka membulli siswa. Apa kata dunia? Mana ada orang yang akan menyebut seorang pembulli dengan julukan 'keren'. Tidak ada.
Yibo melihat jam dinding di atas kepalaku. "Sudah hampir sore, apa kau tak ingin bersiap?"
Aku menggeram tapi tak kutampakkan jelas di hadapannya. Ia benar-benar tak ingin melepasku dari tugas-tugas sebagai pelayannya. Jika ibu tahu hal ini. Ia bisa bersedih selama seminggu. Sayangnya aku tak berani menceritakan betapa menyebalkan Yibo dan betapa tak berdayanya aku.
Aku kembali menaiki tangga, sesuai perintah Yibo. Aku berniat mandi dulu. Sebelum berberes dan menyiapkan keperluanku untuk menginap lagi di sana.
Karena besok hari senin, aku harus membawa seragam dan sepatu juga. Aku akan berangkat ke sekolah bersama Yibo besok. Aku tak pernah membayangkan itu selama hidupku.
Yibo menarik sudut bibirnya, melihatku turun dengan tas kanvas besar yang memuat kebutuhanku esok pagi.
"Mau piknik?" Yibo menggodaku, aku membuang muka.
Ibu muncul di belakangku bersama Cheng Xiao di sampingnya. Aku tak tega melihat wajah Cheng Xiao yang sumringah. Ia tak seharusnya menunjukkan keramahannya di depan Yibo.
Adikku tolong hentikan itu. Dia pecundang, bukan pahlawan. Bagaimana aku harus menjelaskan pada Cheng Xiao tentang siapa Yibo sebenarnya.
"Titip Zhan ya, Nak. Kalau dia menyusahkan marahi saja, tak apa." Ucapan Ibu yang terdengar bagus di telinga Yibo, justru menjatuhkanku ke jurang yang dalam.
Ibu, aku ini anakmu. Kenapa kau serahkan aku pada hewan liar.
.
.Satu jam lebih aku menunggu Yibo yang sedang menelpon seseorang di dalam kamar. Sejak aku memutar film War hingga hampir selesai, Yibo baru muncul mengenakan baju tidur.
"Sudah kau kerjakan?" tanyanya menengok buku tugas milikku yang masih terbuka di atas meja.
"Sudah sejak tadi," jawabku sedikit kesal. Aku mulai gelisah saat Yibo mengabaikanku terlalu lama.
Terlihat ia cukup lelah hari ini, aku ingin tahu kemana saja dia sejak pamit pergi dari lapangan. Apa mungkin dia menemui pacarnya, gadis yang kulihat kemarin?
Yibo duduk di depanku, matanya fokus memeriksa jawaban yang kutulis di sana.
"Lumayan, banyak peningkatan." Yibo memberi tanda jempol, aku tersenyum karenanya.
"Kurasa cukup untuk malam ini, huah. Aku ingin beristirahat." Yibo menguap di sela perkataannya.
Aku mengikuti saja apa maunya, kurapikan buku-buku di atas meja. Meletakkan semua peralatan tulisku ke dalam tas sekolah.
"Besok kita masih harus masuk sekolah, kan?"
Aku mengangguk mengiyakan pertanyaan Yibo. Mengikutinya di belakang untuk mengambil bantal dan selimut di kamar.
"Mau dibawa ke mana bantal itu?"
"Sofa," jawabku singkat.
"Kau tak mau tidur di sini?" Yibo menunjuk ranjangnya, sambil melirikku penuh tanya.
Apa Yibo serius? Ia mengajakku tidur bersamanya lagi? Aku takut ini hanya jebakan. Aku memilih diam, dengan tangan masih memeluk bantal dan selimut dengan erat.
"Baiklah kalau kau tak mau, jarang-jarang loh, aku baik begini."
Aku melempar bantal dan selimut yang kupegang ke ranjang, disusul tubuhku yang kubaringkan di sana. Langsung mengambil posisi ternyaman menghadap jendela.
"Dasar!"
Aku bisa mendengarmu Yibo. Kau kira tidur di sofa itu nyaman?
.
.Pagi ini, sesuatu mengujiku. Cobaan hidup atau apapun itu namanya. Bagiku sama saja, ini ujian, cobaan atau bisa disebut musibah. Setelah malam kemarin aku memeluk Yibo yang kukira boneka beruang milik adikku. Kini, giliran Yibo yang memelukku. Bahkan ia menyilangkan pahanya di antara pahaku.
Aku tak percaya ia tak sadar melakukan itu. Wajahnya yang berada satu senti di telinga, sehingga hembusan napasnya dapat kurasa. Tangannya yang berada di dada, dan sebelah kakinya yang berada satu jengkal di bawah bagian pribadiku. Apa ini disebut kebetulan?
Aku menghela napas berat, rasanya sesak ditindih anak muda, besar, dengan tangan kekar. Aku mengambil inisiatif untuk memindahkan tangan dan kaki Yibo ke samping. Tentu, ini butuh kerja keras. Dibanding Yibo, tanganku jauh lebih ramping.
Setelah membaca doa, dengan hati-hati dan waspada aku mengangkat tangan Yibo dan menggesernya. Ternyata cukup mudah. Sekarang tinggal kaki di bawah sana. Ini pasti tidak terlalu sulit.
Aku memegang paha Yibo dengan kedua tanganku. Cukup berat jika hanya memakai satu tangan saja. Dengan segenap kekuatan aku mengangkat kaki itu pelan. Sebisa mungkin jangan sampai membangukan si empunya kaki.
"Nyam-nyam-nyam!!!"
Yibo mengigau dengan mulut seperti orang sedang makan, dan itu terjadi tepat di telingaku sampai bibirnya menyentuh daun telingaku yang sensitif. Aku bergidik, geli rasanya. Sampai kulupa ada kaki yang harus kujaga di bawah sana.
Perjuanganku akhirnya gagal total, karena tak mampu menahan kaki, malah berfokus pada rasa geli. Kaki itu jatuh kembali dan kini bukan mendarat di paha. Tapi tepat jatuh dengan indah di atas burungku.
"Awww!!!!" Aku menjerit tertahan, itu sakit. Benar-benar sakit. Ditambah lagi, tangan Yibo kembali mencari pijakannya dan berakhir tepat di atas putingku. Oh Tuhan, kesialan apa yang menimpaku pagi ini.
Yibo bahkan mendengkur di telingaku, aku ngeri mendengarnya. Dia seperti monster hijau di komik marvel.
"Yibo ... pindahkan tanganmu!"
Aku menepuk-nepuk lengan Yibo di atas dadaku. Ia menggeliat sebentar, memperbaiki posisi dengan lebih mengeratkan genggaman tangannya tepat di atas putingku.
Aku bukan wanita, tapi aku sangat sensitif di daerah itu.
"Yibo, jangan ah ...."
Yibo langsung melompat kaget, menjauh dari tubuhku dengan cara spontan.
"Kau baru saja mendesah di sampingku?" Yibo menatapku dengan raut muka susah dijelaskan.
"Bu-bukan, tadi kau yang ...."
Ah, Yibo tak akan sadar jika dirinya sejak tadi menyiksaku.
Yibo masih melongo dengan mulut menganga, melihatku pergi ke kamar mandi tanpa berkata apa-apa lagi.
Tbc
Pdf My Lovely Enemy (2) sudah ready, dapetin secara free bagi yang membeli My Lovely Enemy (1) di bulan Juli
Klaim sekarang ke nomer ini 081357926122