One

132 14 3
                                    

"Sampai sini aja, ya?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Sampai sini aja, ya?"

"Hah?! Apa?!"

Kalimat Zaki samar-samar terdengar, sebab angin di atas motor terlalu riuh untuk membiarkan suara sampai di telinga, pun kepala Nisa terpasang helm bogo yang semakin menambah masalah pendengarannya.

"Kita sampai di sini aja!" ulang Zaki, kali ini cukup keras.

Nisa menengok kanan-kiri. Jalan masih terbilang jauh dari tempat tujuan, yaitu rumahnya. Jadi, untuk apa Zaki mengatakan kalimat tersebut?

"Rumah aku, kan, masih jauh, Zaki. Kamu mau buang air, ya? Atau mau jajan di pinggir jalan?" tanya Nisa. Gadis itu meletakkan kepala di punggung dengan kedua tangan melingkar di pinggang Zaki, posisi ternyaman jika berboncengan dengan sang pujaan hati.

Tak kunjung menjawab, Zaki justru menepikan motor gedenya di bahu jalan. Pemuda berjaket kulit tersebut perlahan menggoyang-goyangkan pelan punggungnya dengan maksud memberi perintah agar Nisa segera memberi jarak.

"Kenapa berhentinya di sini?" Nisa menoleh ke samping kiri yang hanya terdapat semak belukar dalam kurungan pagar besi. "Kalau mau buang air, bukannya harus ke pom, ya? Di sana, kan, ada tuh toilet umum. Atau kalau mau makan, mentok-mentok cari kaki lima, tapi kamu malah berhenti di sin--"

"Bukan motornya yang berhenti, tapi kita, hubungan kita," ralat Zaki tak ada angin tak ada hujan.

Sepasang manik bernetra cokelat muda itu membola sampai terlihat akan melompat dari tempatnya. Nisa sungguh-sungguh sangat terkejut. "Maksudnya? Kenapa gitu loh, kok, tiba-tiba? Aku punya salah apa? Atau ada sifat atau sikap yang bikin kamu nggak nyaman? Ayo, Zaki, speak up biar aku bisa memperbaiki diri," beruntun gadis itu menyuarakan pertanyaan.

Zaki menggelengkan kepala berulang kali. "Dari semua pertanyaan, belum ada satu pun yang punya jawabannya, Nis," katanya sangat santai, seolah pernyataan barusan bukan berarti apa-apa. Seolah hatinya yang pemuda itu patahkan tidak ada harganya.

"Lah terus kenapa minta putus kalau nggak ada alasan yang ngedukung buat aku setuju? Kamu bener-bener gila!" pekik Nisa keras.

Pantaskah perlakuan semacam ini diterima saat pernyataan perpisahan baru saja diajukan? Zaki dengan mudah menarik tangan Nisa untuk kembali memeluk pinggangnya sebelum kuda besi kembali melaju, padahal tanpa ia ketahui atau sengaja tak ingin tahu jika otaknya tengah berperang atas permintaan konyol Zaki.

Dan ternyata kalimat 'kita sampai di sini' memang bukan sekadar candaan di atas jok motor sebagai pengusir bosan. Zaki benar-benar memutuskan hubungan setelah mengantarkan Nisa dengan selamat sampai tujuan. Miris.

🍫🍫🍫

Pukulan bola yang keras, seruan dari beberapa mulut yang tidak mau kalah satu sama lain, peluit yang sekali-kali ditiup sang wasit menjadi background suasana sore itu. Di lapangan utama, dari lantai dasar sampai lantai tertinggi --yaitu lantai tiga--, semua kompak menjadikan pusat pandangan ke arah tengah lapangan.

Chocolate [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang