Fourteen

38 9 4
                                    

Serangan bertubi-tubi dari air hasil uap yang bergerak naik rupanya tidak meluruhkan Denis untuk terus menerobos di tengah jalan raya yang menjadi licin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Serangan bertubi-tubi dari air hasil uap yang bergerak naik rupanya tidak meluruhkan Denis untuk terus menerobos di tengah jalan raya yang menjadi licin. Setelah mendapatkan pesan suara dari Nisa, otaknya tak bisa dibawa santai. Kemungkinan-kemungkinan yang seharusnya tidak ia pikirkan memenuhi kepala.

Berbalut jas hujan biru dongker dengan mengendarai motor Vespa andalan, Denis bak Superhero berkuda besi. Tidak perduli dengan tubuh yang meski sudah berlapis jas tahan air akan basah kuyup. Lagi-lagi Denis katakan jika nama Nisa sanggup mengendalikan akal sehatnya.

Mengebut di aspal basah, sesekali genangan air ia hantam sampai pengendara lain yang terkena dampaknya, bahkan tidak satu-dua kali sumpah serapah terseloroh tajam untuk pemuda itu.

Denis menepikan sepeda motor di seberang gedung restoran yang sempat Nisa beri tahu alamatnya. Jalan yang di tengah rinai rupanya tidak membatasi untuk berbagai jenis kendaraan ilir-mudik.

Pemuda itu berdiri--masih di atas motor--untuk merogoh saku mengambil ponsel. Satu notifikasi muncul dari si manusia yang setia berlalu-lalang di isi kepala. Pesan berisi lokasi yang saat ini Nisa tempati, Denis sontak mendongak mengedarkan pandangan mencari titik di mana tempat itu berada.

Arus jalan kebetulan tengah lenggang, langsung saja Denis pergunakan untuk menyeberang hingga sampai di tempat tujuan. Pemuda berjas yang bagian belakangnya terbang-terbang saat di perjalanan bak Superman itu memarkirkan asal motor di pekarangan bengkel.

"Motornya kenapa, Bang?" tanya Montir menyambut kedatangan.

Denis menanggalkan jas hujan terlebih dahulu, menyampirkannya di sandaran kursi yang tersedia untuk pelanggan gunakan. Wajah sarat akan kepanikan Denis perlihatkan, sampai-sampai montir bingung melihatnya.

"Ada cewek yang neduh di sini enggak?" tanya Denis mengatur deru napas yang memburu, padahal tidak habis berlari jauh.

Sang Montir mengerutkan kening, namun segera mengangguk. Memberikan arah untuk Denis mengekor, hingga sampai di satu ruangan di mana seorang gadis bertubuh menggigil hebat tengah duduk meringkuk dibaluti kain tipis sebagai selimut.

Denis menyergap tubuh Nisa tanpa permisi, membuat si empu jadi tergugu oleh keterkejutan. "Maaf," cicitnya tanpa diminta.

Nisa di tengah tubuh yang mulai terasa membeku menggeleng. "Ajak aku pulang, Den," sahut si gadis. Suaranya begitu lemah.

Tautan tubuh Denis beri jarak. "Masih hujan. Nanti kamu tambah kedinginan, nanti hipotermia kamu makin parah, Nis. Sabar, ya?" tolak Deri tak setuju.

Isak suara mulai tercipta, Nisa dengan wajah membiru semakin sendu. "Mama egois lagi. Dia lebih pentingin kerjaan dari pada anaknya yang nunggu lama di restoran," adunya mulai meringis.

Denis terenyuh, kembali membawa tubuh dingin itu ke dalam pelukan eratnya. Kepala Denis manggut-manggut menyetujui usul Nisa untuk angkat kaki dari bengkel. Dengan bantuan dari sang Montir yang memberhentikan taksi, keduanya masuk setelah Vespa putih sepakat dititipkan.

Chocolate [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang