Seven

48 7 2
                                    


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Satu jam penuh hujan akhirnya reda. Kedua remaja menengah atas itu bergegas menuju tempat menimba ilmu untuk otak diperas. Dengan paksaan Nisa yang tidak mau melewatkan kelas--meski tahu konsekuensi yang sudah mengadang ketika mereka sampai--keduanya tetap melakukan perjalanan.

Lari memutar di lapangan yang cukup luas bersama pelanggar peraturan lainnya. Matahari masih berbaik hati untuk tidak naik terlalu tinggi, membuat peluh tak terlalu membanjiri tubuh yang mulai menghangat.

Sepuluh putaran akhirnya rampung Nisa serta Denis selesaikan. Setelah diberi surat izin masuk kelas dari dewan guru yang dijadwalkan piket pada hari itu, mereka tidak langsung memenuhi pesan untuk segera masuk ke kelas. Denis justru mengajak Nisa yang pasrah-pasrah saja ketika tangannya ditarik menuju kantin.

Tidak banyak membeli, hanya dua botol minum untuk menghilangkan dahaga yang menyerang, keduanya sama-sama melangkah seirama di antara kelas.

Satu fakta kembali Denis beritahukan pada Nisa, jika kelas mereka secara kebetulan ternyata terletak seberangan. Tentu tanggapan Nisa sudah bisa ditebak, ia senang. Sudah mendapatkan teman baru, kelas pun tidak jauh pula.

"Den," panggil Nisa dengan suara kecil. Beruntungnya Denis masih memiliki pendengaran yang baik, Nisa jadi tak perlu mengulang memanggil pria itu lagi.

"Kenapa, Nis?" tanya Denis. Pria dengan minuman soda itu tidak terlihat lelah sedikit pun, padahal kemeja putih yang semula basah terkena air hujan sudah tercampur dengan keringat.

"Soal tadi ... kenapa lo kelihatan cemas banget waktu gue bilang punya hipotermia?" Nisa akhirnya bisa menyuarakan isi pikiran yang sejak tadi mengganggu.

"Lo risih, kah?"

Nisa sigap menggeleng. "Enggak. Kan, cuma penasaran," elaknya meluruskan.

Langkah Denis terhenti di tangga pertama, hal itu menarik Nisa untuk melakukan hal yang sama. "Gue enggak mau kehilangan untuk kedua kalinya, Nis. Penyakit itu enggak boleh ambil orang-orang di sekitar gue lagi."

Alis Nisa hampir bertaut, kalimat Denis sungguh tidak ia mengerti maksudnya. "Gimana sih? Sorry, enggak ngerti."

Denis melanjutkan langkah, lagi-lagi Nisa mengikuti hal serupa. "Nyokap gue sama kayak lo, pengidap hipotermia. Dan karena penyakit itu, gue kehilangan dia untuk selama-lamanya," jelasnya sendu.

Langkah Nisa jadi terpaku, perasaan tak enak menjalar ke dalam tubuh. "Sorry, gue malah bahas yang buat lo sedih," cicit gadis itu memilin jemari.

"Eh." Denis turun beberapa anak tangga sampai sejajar dengan Nisa. "Siapa yang sedih coba? Gue udah ikhlas, kok. Nyokap pergi udah lama banget, gue enggak kenapa-kenapa."

Bohong, satu kata yang Nisa pikirkan perihal tanggapan Denis.

Tidak ada kata sembuh ketika orang tersayang pergi. Pergi dalam kategori sementara atau bahkan selamanya, yang namanya ditinggalkan tetap menyedihkan. Mau berapa tahun atau berpuluh-puluh tahun, bekas luka pasti masih terasa walau hanya segores saja.

Chocolate [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang