Nine

39 7 1
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Semenjak tahu jika Denis ternyata memiliki seorang kekasih, Nisa jadi punya pikiran jikalau pemuda yang 'katanya' meletakkan diri sebagai seorang teman itu hanya menjadikannya sebagai pelarian saat rasa bosan datang kala si pengisi hati sedang jauh dari genggaman.

Memang seharusnya pemikiran buruk itu ia enyahkan jauh-jauh. Akan tetapi, semakin kepalanya bertempur, semakin kuat pula kemungkinan tersebut benar adanya. Jika, memang Nisa hanya berperan sebagai figuran saat tokoh utama tidak ada.

Namun, meski begitu, Nisa enggan untuk menciptakan jarak. Denis adalah teman bicara pertamanya setelah Zaki memilih mengundurkan diri. Rasanya untuk melepas capung yang dengan senang hati hinggap, begitu sangat berat.

"Jangan masuk dulu," sergah Nisa. Tangannya refleks menahan pergelangan tangan Denis yang hendak ke dalam kelasnya.

Pandangan Denis turun ke cekalan tangan sebelum Nisa lepaskan, pemuda itu berdeham mewakili keterbingungan.

"Itu ... jaket lo, 'kan, masih ada di gue," lanjut Nisa. Entah ada masalah apa dengan dirinya, sampai-sampai untuk berbicara pun tubuh diserang rasa canggung.

"Oh, itu. Yaudah gue tunggu," sahut Denis yang langsung menempatkan diri duduk di kursi yang berada di halaman kelas.

Nisa buru-buru berlalu membawa badan dengan memacu lari, sampai-sampai orang-orang yang tengah melakukan aktivitas jadi serempak menoleh. Masa bodo pikirnya, Nisa tidak menghiraukan tatapan aneh mereka. Karena mau bagaimana pun, fakta perihal tak ada yang mau akrab dengan Nisa selalu mengikuti.

Kaki berbulu lebat berbalut kain panjang sampai mata kaki berwarna abu-abu itu terayun-ayun ringan. Denis sesekali mengangguk saat disapa, terkadang juga meneriakkan nama kala teman akrabnya melintas di ekor mata. Hingga tubuh atletisnya beringsut bangus saat Nisa sudah menampakkan diri kembali di hadapan.

Di genggaman tangan, Nisa menyerahkan sebuah paper bag cokelat kepada Denis. "Sebenarnya udah dicuci sama Mama, tapi karena takutnya bau, gue cuci lagi deh," jelasnya.

Manggut-manggut saja kepala berbalut surai hitam itu, Denis menerimanya dengan senang hati. "Gue buka, ya?" ucapnya, lantas mengeluarkan jaket untuk menghirup aromanya sebentar.

Denis terkekeh-kekeh sendiri tanpa sebab, membuat Nisa dibuat bingung. "Gue tebak, pasti lo pakai banyak pewangi, 'kan?"

"Takut bau soalnya," jawab Nisa terkikik. "Enggak suka, ya, sama aromanya?"

"Suka, kok, suka. Tenang aja hidung gue enggak aneh, kok," sergah Denis menolak tudingan itu.

Nisa mengucap syukur dalam hati. Karena memang urusan dengan Denis sudah selesai, Nisa pamit undur diri. Tubuh sudah balik kanan, tetapi saat hendak beranjak, Denis lebih dahulu menahan tangan persis seperti yang ia lakukan sebelumnya.

"Kenapa, Den? Hidungnya berubah selera, ya?" Lucu sekali memang gadis bernama Nisa ini, sampai membuat Denis jadi tertawa kecil dibuatnya.

"Salah, bukan hidung gue yang berubah selera, tapi gue yang berubah pikiran untuk terima jaket dari lo," ungkapnya.

Chocolate [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang