Eleven

43 7 3
                                    

"Ketika rumah ditinggal pemiliknya, sudah menjadi keharusan untuk tak lupa menguncinya. Karena bisa saja orang asing leluasa keluar masuk tanpa diminta."



Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Kota yang tak pernah tidur itu penuh dengan embun. Pagi tak begitu buta, manusia bak robot siap tempur dengan waktu, tergesa-gesa, semuanya larut dalam kesibukan di tengah-tengah indahnya cahaya sang surya terbit dari ufuk timur.

Sekeping kunci putih diputar terburu-buru oleh Ratih, wanita bersetelan jas brown selaras dengan rok span di atas lutut itu jelas terlihat tengah dikejar waktu. "Masih lama apa enggak?!" tanyanya menyeruak seisi rumah.

"Kalau buru-buru, tinggal berangkat aja, enggak usah pikirin Nisa! Masih makan tau ini, Ma!" jawab Nisa tak kalah keras.

"Mama tungguin aja deh di mobil. Yang cepet, ya?!"

"Iya, iya, ini udah, kok."

Daun pintu berhasil Ratih buka, pemilik wajah yang dirias tatanan bold itu seketika jadi terlonjak kaget saat pintu baru terbuka sudah tersuguh makhluk yang asing di mata menyambut dengan senyuman lebar.

"Astaga!" pekik Ratih refleks memegangi dadanya. "Kamu siapa? Ngapain berdiri di depan pintu?" beruntun Ibu-ibu itu bertanya.

Bertambah lebar bibirnya melengkung ke atas, remaja pria berseragam SMA yang ternyata Denis itu hendak menyuarakan maksud tujuannya datang ke kediaman Ratih. Namun, niatnya gagal sebab seseorang yang menjadi tujuannya muncul dari balik punggung Ratih.

"Katanya buru-buru, tapi, kok-- loh ...." ucapan yang memiliki niat hendak mengomel, seketika terputus. Nisa tergeming di tempat, terkejut pastinya. Tidak menduga manusia kedua selain sang Mama yang menjadi penyapa indera.

"Gue dateng, kok, pada kaget gitu sih? Emangnya muka gue, muka-muka mirip hantu gitu?" tanya Denis ngawur.

Nisa dan Ratih menggeleng menolak opini tersebut. "Lo datengnya tiba-tiba, ya ... kita jadinya kaget lah," jelas Nisa.

Ratih menatap bergantian Nisa dan Denis dengan sorot akan rasa penasaran. "Ini siapanya kamu, Nis? Pacar, ya?"

"Eh, dia--"

Suara Nisa tertelan lagi setelah penggalang tangan dicekal tiba-tiba oleh Denis. Pemuda itu tersenyum sopan yang membuat siapa saja akan salah paham dengan sikap tersebut. Dalam pikiran Nisa, mungkin saja Ratih menyimpulkan jika Denis adalah pacaranya. Namun, meski begitu, ia tidak menyangkal, membiarkan saja Ratih beropini liar.

"Nisa-nya saya pinjam buat diajak berangkat bareng, boleh, Tante?" pinta Denis.

"Oh, tentu boleh," sahut Ratih riang. "Yaudah, kalau begitu Tante berangkat duluan. Nisa, jangan lupa kunci pintunya, sayang?" pesan wanita karir itu sebelum melenggang masuk ke roda empat yang tidak lama kemudian melesat meninggalkan kawasan rumah.

Chocolate [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang