Denis terus meringis, berdesis nyeri ketika bercermin. Menyayangkan wajah tampannya banyak dihiasi lebam; mulai dari bagian sudut mata kanan dan kiri, bagian sudut bibir yang sedikit dialiri darah segar, sampai tulang hidungnya terasa akan patah saking ngilunya. Dan semua itu ulah bogeman mentah dari tangan Dion sesuai ucapannya saat di Unit Kesehatan.
Jika Denis tampak prihatin dengan perawakan seperti habis tawuran, berbeda pula dengan Nisa yang sama menyedihkannya setelah semalaman menangis tanpa henti, berakhir menghasilkan kantung mata hitam membesar persis seperti seekor panda.
Duduk dengan paha mengapit erat, dua remaja itu saling menunduk dalam, jemari yang masing-masing meremas keras udara. Di ruang keluarga kediaman asri Denis, dua keluarga itu berkumpul.
Celetukan besan yang kemarin Nenek dan Ranti gunakan sebagai gurauan, siang itu akhirnya menjadi kenyataan yang begitu mengejutkan. Sofa berwarna lavender sudah terisi penuh. Suasananya amat sangat canggung, tanpa suara, tanpa bicara, mereka larut dalam amarah yang bergejolak di batin.
Hingga, kemunculan seorang pria gagah berseragam pelaut berhasil menarik atensi semua pasang mata untuk mengalihkan pandangan. Tubuh Denis sontak menegang saat Papanya berjalan mendekat, lantas mengambil duduk di samping tubuh kaku Denis.
Toni melepas topi kebanggaan, meletakkannya di atas meja kaca sampai mampu menimbulkan suara yang begitu kentara di gendang telinga karena sepi yang masih singgah.
Helaan napas terdengar panjang, Toni berdeham keras memecahkan keheningan. "Sampai kapan kita terus kayak gini? Berkumpul, tapi saling membisu," ucapnya.
Mereka sontak terkesiap, bahkan serempak menegakkan cara duduknya. Aneh memang, padahal Toni sama seperti manusia lainnya, tapi suasana mencekam seolah terpancar ketika beliau datang.
"Pertama-tama, saya selaku Papa dari Denis memohon maaf sebesar-besarnya kepada Ibu dan Bapak," lanjut Toni sungguh-sungguh nan amat serius.
Ratih akhirnya punya keberanian untuk memberi tanggapan, namun justru kekehan remeh yang ia berikan. "Anda pikir permintaan maaf bisa mengembalikan keperawanan anak saya?!" tajamnya berkata.
Mulai dari Dion, Nenek, Nisa dan Denis melebarkan mata mendengarnya, sedangkan Toni biasa saja. Ia tahu hal seperti ini sudah terprediksi akan terjadi setelah Nenek memberi kabar di tengah tangisan pilunya.
"Mbak, bisa dijaga mulutnya?!" Dion menegur sarkas.
"Kenapa? Mau nyalahin Mbak lagi?" Ratih mengangkat dagu pongah. "Harusnya kamu ada di pihak Mbak, bukannya ponakan kesayangan kamu itu!" Ratih menunjuk lurus Nisa.
Dion menatap tak percaya, ia hendak menyelorohkan balasan, namun Nisa lebih dulu melarangnya dengan genggaman tangan saraya kepala menggeleng kuat. Lelaki itu hanya bisa menghela napas panjang, menahan diri untuk tidak terbawa emosi kembali.
"Jadi gimana sama mereka?" tanya Dion langsung ke topik, tidak mau basa-basi lama-lama.
Toni menoleh, menatap putra semata wayangnya dengan tatapan tenang seolah tidak terjadi apa-apa antar keduanya. "Sebagai Nakhoda, saya akan memilih jalan terbaik. Mereka harus menikah sesuai agama dan negara," putusnya tak terbantah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Chocolate [End]
Teen FictionIbaratkan kepingan cokelat yang jika dikonsumsi terus-menerus akan membawa penyakit. Seperti itulah jalan yang Denis dan Nisa putuskan untuk dilalui. Pertemuan yang semula hanya sebagai pengisi rasa bosan dan tidak lebih dari pelarian semata, harus...