Five

62 8 2
                                    

"Satu hal yang mustahil dibeli dengan uang; waktu. Ketika sudah berlalu, waktu hanya sekadar kenangan semata."

Dunia Nisa seperti rumah di tengah hutan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dunia Nisa seperti rumah di tengah hutan. Sendiri, berbahaya, gelap, dan senyap. Siang maupun malam tidak ada bedanya, sama-sama penuh akan kesunyian.

Katanya Nisa ini anak kedua, tapi nasib nahas terjadi ketika anak pertama berusia tujuh bulan dalam kandungan, Ratih mengalami keguguran karena terlalu memforsir tenaga untuk bekerja. Satu setengah tahun kemudian, Nisa hadir di muka bumi, disambut hangat oleh kedua orang tua yang amat mencintai.

Namun, rupa-rupanya di balik kisah manis yang mereka beri kepada Nisa, hanya tipu belaka. Dua orang dewasa itu nyatanya sering beradu argumen, entah itu karena hal sepele, sampai hal terbesar. Usia sepuluh tahun, keluarga yang Nisa kira bagai surga dunia itu akhirnya rutuh. Papa pergi setelah jatuh ke pelukan wanita lain dan Mama yang terpuruk semakin menggila dalam bekerja.

Benar, Nisa adalah korban dari keegoisan orang tuanya. Dari duduk di kursi sekolah dasar sampai menengah atas, Nisa terbiasa dengan kesendirian. Tidak memiliki seorang teman yang bisa dijadikan tumpuan ketika tungkainya tak sanggup menahan bobot sedihnya, tidak memiliki seorang teman yang bisa dijadikan tempat keluh kesah ketika dunia menjadikannya lelucon.

Hingga, pertemuan dengan Denis mampu membuat Nisa merasakan hal yang sudah sangat amat ia rindukan; kenyamanan.

Jika ditanya apakah Nisa menyukai Denis, tentu jawabannya tidak. Nisa hanya senang karena ada juga manusia yang mau berbicara banyak dengan dirinya.

Gesekan pintu yang dibuka mengintruksi Nisa untuk menoleh. Saat netranya menangkap tubuh Ratih yang berjalan ke arahnya, wajah yang semula dihiasi senyuman itu seketika lenyap berganti wajah datar.

Ratih menyimpan tas jinjing hitamnya di atas meja makan, lantas si empu menghampiri lemari pendingin untuk menghilangkan dahaga.

"Jadi ayamnya nggak dimakan lagi?" tanya Ratih kala melihat di atas meja pantry sebuah box berisi ayam ia siang tadi ia pesan masih utuh tak tersentuh.

Nisa enggan untuk menyahut. Gadis itu lebih tertarik menonton film di ponsel, membuat Ratih menghela napas melihatnya. Wanita yang sebut Mama itu menarik kursi di seberang meja tempatnya Nisa duduk.

"Udah tiga minggu loh kamu diemin Mama kayak gini, apa nggak capek? Bahkan makanan yang Mama pesan nggak kamu makan-makan, mubazir banget tau," ucap Ratih memulai obrolan.

Ternyata Nisa masih ke mode dingin. Malas rasanya meladeni Mamanya yang tak pernah bisa berubah.

"Oke deh, Mama ngaku salah. Mama nggak bisa wakilin kamu buat ambil raport. Tapi, 'kan, kamu juga tau seberapa numpuknya kerjaan Mama di kantor?"

Nisa mencibir dalam hati, "Niat minta maaf nggak sih nih orang?"

Ratih melipat kedua lengannya di atas meja. "Kamu udah gede loh, Nis. Nggak pantes tau ngambek-ngambekan kayak gitu," lanjut Mama.

Chocolate [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang