Ibaratkan kepingan cokelat yang jika dikonsumsi terus-menerus akan membawa penyakit. Seperti itulah jalan yang Denis dan Nisa putuskan untuk dilalui.
Pertemuan yang semula hanya sebagai pengisi rasa bosan dan tidak lebih dari pelarian semata, harus...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Layaknya pelangi usai hujan pergi, kerenggangan hubungan Ibu dan Anak itu tidak bertahan lama. Nisa memang kepala batu, tapi jika itu Mamanya, ia tidak bisa terus-menerus menuruti amarah. Bisa-bisa, nanti Nisa kelaparan karena enggan menerima uang jajan dari Ratih.
Di sofa panjang menghadap layar kaca yang menyala, Nisa berbaring dengan menjadikan paha Ratih sebagai bantal, sedangkan wanita yang terpaut usia dua puluh tahun dengan anaknya itu asyik menyimak berita.
"Ma, kira-kira Nisa kerja apa, ya, kalau habis lulus nanti?" tanya Nisa tak ada angin tak ada hujan.
Ratih menunduk, alisnya jadi bertaut heran. "Tumben nanya itu? Tapi emangnya kamu enggak mau kuliah dulu?"
Bibir dilipat ke dalam, Nisa manggut-manggut. "Iya juga, ya. Aku mau kuliah, kerja pakai ijazah SMA nanti bakal susah dapetnya."
"Bukan cuma SMA doang yang susah. Mau kamu lulusan perguruan tinggi sekali pun, yang namanya cari kerja enggak segampang dan secepat order makanan," sahut Mama yang diam-diam disetujui Nisa.
"Tapi aku bingung, Ma. Mau ambil jurusan apa," keluh Nisa muram.
Ratih mengusap lembut puncak kepala anaknya. "Enggak apa-apa, lagian kamu juga baru naik kelas dua belas, masih ada waktu untuk berpikir matang-matang. Sekarang tugas kamu tentuin PTN mana yang mau dituju," saran Mama.
Nisa mengangguk mengerti. Gadis itu akui jika saran dari Ratih selalu tepat, pun salah satu alasan mengapa Nisa tak bisa berlama-lama memusuhi wanita yang telah mempertaruhkan nyawa demi melahirkannya di dunia.
Ternyata Ratih tidak seburuk itu.
🍫🍫🍫
Terik begitu menyiksa bagi Nisa yang tidak suka berlama-lama berdiri di bawah sinar matahari. Setelan training olahraga warna hitam berpadu merah muda kompak dipakai murid kelas dua belas IPA 2. Pelajaran penjaskes tengah berlangsung dengan materi Sepak Takraw, membuat Nisa yang bodoh dalam mata pelajaran tersebut semakin dibuat ketar-ketir.
Nasib beruntung rupanya berpihak pada Nisa saat dua murid sebelum gilirannya melakukan praktik, nyaringnya bel sekolah tanda waktu istirahat tiba, mampu menyelamatkan gadis itu untuk tidak mempermalukan diri sendiri.
Kelas dibubarkan, Nisa yang merasa gerah tentu saja menjadikan toilet tujuan utama sebelum berpindah menuju kantin untuk mengganjal perut.
Sebenarnya saat awal-awal masuk sekolah, Nisa masih mempunyai satu-dua teman untuk diajak mondar-mandir ke penjuru sekolah. Namun, entah apa penyebabnya, di semester dua saat kelas sepuluh, Nisa dipaksa terbiasa melakukannya sendiri. Rasa miris dan sedih yang Nisa dapat.
Langkah ringan tanpa beban itu berhenti seketika kala suara gadis-gadis tengah bergosip ria di depan kelas masuk ke gendang telinga. Nisa tidak akan bereaksi seperti ini jika saja nama Zaki tidak menjadi topik obrolan mereka.