Four

64 8 2
                                    

.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Suara jepretan kamera sesekali terdengar, beberapa gambar berhasil Nisa ambil lewat lensa kamera ponsel pintarnya. Senyum terus dikembangkan gadis itu, seolah tidak kenal rasa pegal dan tak takut jika mulutnya akan robek.

Mereka duduk di gazebo dengan pemandangan seorang Kakek tua yang rambutnya penuh uban tengah menyiram tanaman.

"Nggak nyangka banget kalau di tengah kota penuh sama polusi ada juga tempat asri kayak gini. Gue kira isinya cuma gedung-gedung saling berlomba siapa yang lebih tinggi sama kemacetan doang," ungkap Nisa kagum.

Pria itu terkekeh. "Banyak, kok, tempat asri di ibu kota."

Nisa menoleh antusias. "Seriusan?"

Bukannya jawaban yang keluar, tapi justru tawa kecil menyebalkan yang terlempar, membuat Nisa jadi diam merasa bingung sendiri. "Kayaknya lo nolep banget, ya?"

"Nggak, kok. Gue cuma nggak suka bepergian karena males aja kalau sendirian," bantahnya.

Manggut-manggut pria itu lakukan, sedangkan Nisa yang semula duduk menghadap penuh depan, bergeser menyamping hingga sepenuhnya berhadapan dengan lelaki ini. "Gimana bisa tempat asri kayak begini ada di belakang sekolah?" Antusias gadis itu bertanya.

"Salah lo nanya ke gue, harusnya yang lo tanya itu Kakek Tedjo," ucapnya.

"Lama lagi kalo nanya ke Kakak tua itu. Kan, lo ada. Selagi ada yang mudah, kenapa harus yang sulit?"

"Bener juga." Kepala pria itu manggut-manggut. "Lo penasaran banget mau tau asal-usulnya?" tanyanya, Nisa mantap mengangguk. "Jadi tuh, sebenarnya ini sisa dari tanah yang beliau jual ke pemilik yayasan sekolah kita. Karena katanya bakal sayang banget kalau nggak dimanfaatin, yaudah beliau jadiin perkebunan. Itung-itung buat kegiatan di masa tua, gitu katanya."

Bibir Nisa sedikit terbuka dengan kepala yang manggut-manggut mengerti. "Kalau lo, kenapa bisa temuin tempat yang letaknya jauh banget dari kerumunan biasa murid kumpul?"

Pria itu terkikik geli tak jelas. "Gue bingung mau bangga atau malu kalau ceritainnya," cicitnya masih di tengah tawa. "Berawal dari gue yang kabur waktu ada program vaksin. Niatnya mau ngumpet, eh berakhir ketemu ini tempat deh. Sumpah, kalau inget momen itu suka geli sendiri. Bisa-bisanya udah gede, tapi takut jarum suntik."

Ia bercerita dengan riang, sampai-sampai Nisa jadi tergugu di tempat kala baru menyadari jika pria di hadapannya ini memiliki wajah cukup tampan. Sebab yang paling tampan bagi Nisa hanya Zaki seorang, tiada yang lain.

Wajah oval dilengkapi alis memanjang tebal, hidung yang bisa dibilang mancung untuk orang Indonesia dan juga bibir kasual, serta tatanan rambut bergaya disconnect undercut seolah menjadi daya tarik tersendiri untuk kedua pasang mata gadis itu untuk tidak berpaling.

Chocolate [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang