Fifteen

39 8 2
                                    

.

Aroma wangi masuk ke indra penciuman, pemilik tubuh tertarik untuk turun dari lantai dua

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aroma wangi masuk ke indra penciuman, pemilik tubuh tertarik untuk turun dari lantai dua. Dengan rasa canggung bercampur perasaan tidak enak, Nisa mengulum bibir saat pandangannya dengan Nenek saling bertubrukan.

Entah mengapa, dalam benak tersemat rasa bersalah. Terlebih lagi saat Nenek memberinya lengkungan indah nan hangat di buah bibir, membuat Nisa semakin merasa miris dengan dirinya sendiri.

"Niatnya Nenek mau ke atas bangunin kamu, eh udah bangun duluan ternyata," ucap wanita bersurai putih itu. "Sini, Nak, makan dulu," titahnya melambai-lambai.

Nisa mengangguk sopan. Meski, pertemuan dengan Nenek bukan kali pertama dalam hidupnya, kecanggungan tidak pernah tertinggal di lubuk hati gadis itu ketika bertemu.

Namun, sepertinya ada yang janggal. Bagai sayur tanpa garam, Nisa celingukan bak orang linglung mencari sosok Denis yang tak kunjung terlihat batang hidungnya. "Nek...." panggilnya menatap sang Nenek.

Seolah tahu tanpa diberitahu terlebih dahulu, Nenek menjawab atas keterbingungan remaja itu, "Denis Nenek suruh sekolah. Udah kelas dua belas, sayang banget kalau harus absen." Nenek memberikan nasi berserta lauk-pauknya di piring yang tersedia untuk Nisa.

"Makan dulu. Denis bilang kamu lagi sakit dan di rumah lagi enggak ada orang, alhasil dia bawa kamu ke sini. Benar begitu, Nisa?" tanya Nenek. Suaranya terlalu lembut dan terasa nyaman masuk ke gendang telinga.

Nisa begitu ragu barang untuk mengatakan 'bukan seperti itu, Nek' karena memang begitulah fakta sebenarnya. Akan tetapi, jika ia jujur,sungguh akan menumbuhkan masalah.

"Iya, Nek." Nisa akhirnya memilih berdusta.

Sarapan terhidang, dua manusia berbeda generasi itu khidmat menikmatinya dalam keheningan. Jarum jam berdetak memenuhi ruangan, meja bundar menjadi menengah antar keduanya.

Nenek meneguk air putih sebelum kunyahan nasi terhambat di kerongkongan. "Oh iya, Nisa. Denis bilang ke Nenek, semalam kamu tidur di kamar dia, terus Denisnya tidur di mana?"

UHUK.

Bulir nasi menjadi penyebab Nisa terbatuk-batuk, Nenek yang sigap segera menuangkan air untuk diberi pada gadis itu.

"Makan jangan buru-buru ..., 'kan, jadi keselek," tegur Nenek sarat akan kekhawatiran.

Tangan Nisa samar-samar bergetar kala menenggak air putih. Ia hanya tersenyum tipis yang dibalas gelengan kepala oleh Nenek.

Setelah pertanyaan tersuara dari mulut wanita hampir seabad ini, bayangan malam yang begitu panjang memenuhi kepala. Nisa tergeming saat mengingat kejadian semalam, seketika sadar jika mereka sudah keluar dari batas wajar.

Hal itu seharusnya tidak terjadi, mereka tidak semestinya menikmati hal yang keliru.

Keringat dingin memenuhi tubuh, Nisa balas menatap Nenek yang masih setia menunggu jawabannya. Ia ingin menangis, ingin memohon ampun dengan sungguh-sungguh, tapi keberanian diri tidak gadis itu miliki.

"Kalian enggak tidur sekamar, 'kan?" Sekali lagi, ucapan Nenek semakin membuat Nisa menjadi batu. "Bukan muhrim, pamali lagian juga," lanjutnya santai.

Nisa meneguk saliva susah payah. Ia akan bicara sejujur-jujurnya.

"Iya, Nek. Nisa sama Denis ... beda kamar." Sungguh dusta mulut Nisa. "Denis sih bilang dia tidur di kamar Papanya."

Perawakan Nisa begitu santai, walau dalam hati ketar-ketir atas tindakan yang tak wajar. Nenek melanjutkan makan dengan tenang, sedangkan Nisa harus gaduh dengan rasa bersalah yang terus memenuhi relung hati.

Setelah perut dirasa cukup menampung asupan, Nisa yang tak tahu diri itu bersikap seolah dia adalah calon cucu menantu idaman yang sigap dalam urusan dapur. Dalam risaunya, Nisa memoles air muka begitu ceria bak remaja tanpa dosa.

Usai menambah point lebih untuk restu, Nisa pamit untuk kembali ke kamar. Ayunan kaki memacu cepat, serangan panik menggerogoti relung si empu. Ranjang berukuran besar tersuguhkan saat membuka pintu, Nisa buru-buru menyibak selimut yang sebelumnya sudah ia lipat rapi.

Tubuh Nisa seketika lunglai, tulang-belulangnya tidak mampu lagi menahan bobot tubuh setelah bercak darah mengotori bersihnya seprai abu-abu.

"Mama ... aku harus gimana?" gumam Nisa lirih.

Tangis tanpa suara Nisa lakukan, tubuh ringkih terduduk meringkuk memeluk lutut yang menekuk di bawah ranjang. Nisa akui ia maupun Denis begitu salah, namun seberapa besar rasa sesalnya tidak mampu mengembalikan waktu sebelum hal tak senonoh itu terjadi. Keperawanannya sudah direnggut oleh orang yang teramat Nisa sayangi.

Teringat satu hal, gawai yang bertengger di atas nakas ditarik oleh si empu dengan sigap. Sebuah nomor langsung didial, tanpa menunggu lama-lama sambungan terhubung.

"Halo."

Suara Denis sukses memancing isak tangis Nisa untuk keluar. Gadis itu yang tidak tinggal diam, membekapnya dengan begitu erat. Berharap suara lirih tidak keluar.

"Hei, kamu kenapa? Masih di situ, 'kan?" tegur Denis dari seberang sana.

Nisa sebisa mungkin menghilangkan sesak dengan beberapa kali mengatur napas. Meraup udara banyak-banyak yang dan mengeluarkan sepelan mungkin. Jangan sampai Denis menyadari suaranya yang serak khas orang tengah menangis.

"Nis, ... jangan bikin aku khawatir deh. Kamu kenapa? Bilang sama aku."

"Den." Akhirnya Nisa mampu juga berbicara. "Jangan punya pikiran untuk tinggalin aku, ya? Aku cuma punya kamu."

Sunyi hadir, Denis bagai kehabisan suara, dan Nisa yang masih terus berusaha agar beningnya air mata tidak lagi terjun menerjang pipi.

"Kamu tuh aneh, ngomong asal ngucap aja." Dari nada suara, sepertinya Denis mengerti mengapa Nisa berbicara demikian.

"Permintaan aku serius, Den. Jangan pernah berpikir untuk pergi, jangan sampai rasa bosan masuk ke dalam hubungan kita. Please, Den...."

"Maaf."

Satu kata mampu meruntuhkan pertahanan Nisa, begitu pula Denis yang tengah memaki dirinya sendiri dengan terus berkata, "Aku tau, aku bodoh. Aku sadar, aku brengsek. Nis, aku enggak akan tinggalin kamu. I'm promise."

"Janji kamu, bisa aku tepati?" Nisa perlu memastikan. Ia tidak mau jika harus terjebak dengan kesendirian.

Suara dehaman terdengar. "Pegang janji aku sekuat tenaga, aku enggak akan ingkar."

Benarkah? Apa mulut remaja delapan belas tahun tidak akan berdusta? Nisa langitkan doa agar kesialan tidak diturunkan untuknya.

Benarkah? Apa mulut remaja delapan belas tahun tidak akan berdusta? Nisa langitkan doa agar kesialan tidak diturunkan untuknya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




A/N:

Ayoooo vote

Chocolate [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang