Nisa mematung yang kemudian ambruk terduduk lesu di permukaan kasur. Tenggorokan seakan tidak memberi keleluasaan untuk udara berlalu-lalang, ia tersengal-sengal meski tidak habis berlari lima ratus meter. Bagai badai datang dengan dashyatnya, hati gadis itu hancur berkeping-keping.
Di tangan terdapat benda kecil, tipis nan panjang menunjukkan dua garis tipis berwarna merah. Pertahanan Nisa sudah tak bisa ia teguhkan lagi, tangis penyesalan mendominasi air mata yang menderai jatuh menghantam pipi begitu derasnya.
Nisa sudah menduga sebelumnya, bahkan ia sudah wanti-wanti jika hal semacam ini terjadi. Menggunakan buah nanas yang orang bilang akurat melemahkan janin, sudah Nisa coba jauh-jauh hari sebagai pencegahan. Dalam bentuk buah segar atau bahkan menjadi olahan jus. Atau bahkan, seringnya meminum soda, Nisa konsumsi setiap hari tanpa pikir panjang untuk kesehatan.
Hampir dua minggu, imun tubuh merosot turun. Mulai dari terkena sinar sang surya terlalu lama, pening langsung mampir di kepala; berjalan dengan jarak tak jauh dari pandangan, betisnya sudah terasa seperti naik-turun mendaki Gunung Rinjani; atau bahkan--paling parah--ketika mencium wewangian entah parfum atau minyak angin, perut otomatis akan berontak meminta isinya dikeluarkan.
Ketiga kali mencoba test pack, yang menjadi hasil tetap sama--dua garis yang paling Nisa benci kemunculannya.
"Ini seriusan? Hasilnya beneran akurat? Gue ... hamil gitu? Dalam usia segini gue bawa bayi di dalam perut?" Tawa sumbang keluar, Nisa ingin memaki diri saja rasanya. Benar-benar menyebalkan. Lelucon lagi yang tidak ada lucunya.
Ringis penyesalan tertahan. Nisa tidak membiarkan Ratih mendengar isak tangisnya, meski samar-samar sekali pun. Ia belum siap jika harus menyaksikan bagaimana perawakan wanita yang paling ia sayang kecewa akan dirinya. Gadis itu hanya tidak mau Mamanya menangis sambil terus-menerus menyalahkan takdir atas kesalahan yang telah sang Anak berbuat.
Tok. Tok. Tok.
Ketukan pintu mengintruksi Nisa untuk menghapus jejak air matanya tanpa sisa. Terburu-buru gadis itu menyimpan alat uji kehamilan di dalam laci meja rias, berharap tempat itu menjadi tempat teraman dari jangkauan
"Mama mau berangkat nih, kamu mau bareng aja apa sama Denis?" tanya Mama menyeruak di penjuru kamar, kepalanya menyembul di balik daun pintu yang terbuka sedikit.
"Bareng Mama," jawab Nisa, lantas meraih ransel yang sudah disiapkan sebelumnya.
Mama tersenyum sumringah, kepala si empu ditarik sambil mengatakan, "Mama tunggu di mobil."
Nisa patuh menuruti titah Ratih, mengambil duduk di samping kursi kemudi yang ditempati Mama sebagai pengendali gerak lajunya.
"Nis, temen-temen Mama pada rekomendasi universitas bagus nih. Mau liat brosurnya enggak? Mama kebetulan ambil beberapa," tawar Ratih seraya menyerahkan selembaran kertas tebal tersebut dari dalam dashboard.
KAMU SEDANG MEMBACA
Chocolate [End]
Teen FictionIbaratkan kepingan cokelat yang jika dikonsumsi terus-menerus akan membawa penyakit. Seperti itulah jalan yang Denis dan Nisa putuskan untuk dilalui. Pertemuan yang semula hanya sebagai pengisi rasa bosan dan tidak lebih dari pelarian semata, harus...