Ibaratkan kepingan cokelat yang jika dikonsumsi terus-menerus akan membawa penyakit. Seperti itulah jalan yang Denis dan Nisa putuskan untuk dilalui.
Pertemuan yang semula hanya sebagai pengisi rasa bosan dan tidak lebih dari pelarian semata, harus...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Selama hidup delapan belas tahun, untuk kali pertama Nisa merasakan bagaimana sakit dan menahan nyeri saat dipijat urut. Rasanya tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
"Lo ... baik-baik aja, 'kan?" Saat itu Nisa tidak menyangka jika pertanyaan tersebut terseloroh untuk dirinya.
Mungkin merasa bersalah, si pengendara motor menawarkan diri untuk tanggung jawab. Awalnya, Nisa pikir ia akan dibawa ke unit kesehatan; puskesmas atau rumah sakit, semacam itulah. Namun, ternyata pria ini membawanya ke sebuah pondok di tengah-tengah perkampungan. Katanya, itu adalah tempat paling ampuh untuk mengatasi patah tulang.
"Temen gue aja yang tangannya patah habis balap liar, langsung sembuh waktu gue bawa ke sini. Terus Kakek gue juga. Kalau nggak salah tulang keringnya yang patah, sembuh juga," cerita pria itu saat hendak mengantar Nisa untuk masuk.
Nisa hanya manggut-manggut saja. Mau tidak percaya, tetapi wajah yang pria itu perlihatkan teramat serius untuk sekadar candaan.
Dengan langkah tertatih, Nisa keluar dari pondok usai pergelangan kaki diurut oleh Pak Tua--panggilan dari pria yang membawanya tiga puluh menit lalu. Saat sudah berada di teras, pandangan Nisa mengedar ke setiap penjuru arah, mencari keberadaan pria tadi. Namun, tidak kunjung batang hidungnya ditemukan.
Bibir sedikit memucat itu berdecak sekilas, tubuh Nisa merunduk menarik sepatu selop putih untuk dikenakan. "Parah banget, padahal gue nggak tau ini di mana." Lagi, Nisa menggerutu.
"Eh, Dek!" seru satu suara memanggil, Nisa otomatis menoleh.
Pemilik suara itu seseorang pria berkepala empat--jika dilihat dari perawakannya--menyerahkan jaket bomber hitam kepada Nisa yang kebingungan.
"Itu bukan punya saya, Pak," ucap Nisa meluruskan.
"Lah, kalo bukan punya kamu, terus ini punya siapa?" Bapak-bapak itu ikut bingung memperhatikan jaket di genggaman.
"Saya juga nggak tau, Pak. Mungkin punya orang lain kali."
"Nggak mungkin lah, orang yang dateng ke sini cuma kamu doang orang mudanya. Masa aki-aki pakai jaket seperti ini, nggak mungkin, 'kan, pasti?" Pria itu tetap memaksa menyerahkan jaket ke tangan Nisa agar cepat diterima.
Nisa hanya pasrah mengambil alih jaket tersebut. Enggan jika nanti justru dirinya ditahan untuk tidak meninggalkan tepat asing ini hanya perkara menolak membawa jaket entah siapa pemiliknya.
Namun, sekilas ingatan Nisa muncul. Gadis itu ingat pakaian yang dikenakan pria yang sudah membawa dan meninggalkan Nisa begitu saja; celana jeans hitam dengan di bagian lututnya sobek, t-shirt putih bermotif serat hitam dan jaket bomber yang saat ini berada di tangannya.
"Terus ini balikinnya gimana? Ya masa harus cari orangnya, sih, sedangkan gue aja nggak tau nama dan alamat rumahnya di mana," gumamnya diiringi helaan napas yang panjang nan terdengar berat.