Pada akhirnya Nisa hanya bisa mengandalkan Dion; pamannya yang jauh-jauh dari Bandung hanya untuk mengambil raport kenaikan kelasnya. Tugas yang seharusnya dilakukan oleh seorang Ibu, justru orang lain yang melakukan hal tersebut.
Nisa benci harus terus merepotkan adik dari Mamanya itu, setiap kali panggilan sekolah yang mewajibkan wali siswa datang, pasti Dion selalu berada di garis terdepan. Sampai, Nisa kadang bertanya lewat pantulan cermin; 'Ibu itu diciptakan untuk apa?'.
Selama tiga minggu penuh, Nisa tidak mengajak bicara Ratih. Bahkan untuk makan saja, ia enggan menerima pemberian dari Mamanya itu. Mengandalkan kiriman uang yang biasa Papa beri setiap satu bulan sekali, Nisa gunakan untuk mengisi perut dan pengeluaran lainnya.
Rutinitas sekolah kembali dimulai, pagi yang masih dikerumuni rasa kantuk harus dienyahkan oleh kewajiban. Ketika si malas menyerang, akan ada impian yang menampar untuk tetap sigap.
Sebenarnya Nisa tidak terlalu pintar, tapi tidak juga disebut bodoh. Ketika diminta menjawab soal di papan tulis, ia bisa menyelesaikannya, meski harus memerlukan waktu yang cukup menyita.
Perlu diketahui, jika mimpi Nisa tidak muluk-muluk. Apapun pekerjaan yang hari esok ia lakukan, yang paling penting adalah Nisa bisa menggantikan posisi Ratih sebagai tulang punggung. Sederhana sekali, bukan?
SMA Negeri Cempaka terbilang sekolah dengan murid terbanyak. Namun, dengan banyaknya siswa-siswi, tidak ada satu pun yang menjadi teman akrab Nisa. Entahlah, Nisa pun tidak mengerti mengapa dirinya tidak menarik perhatian orang-orang di sekitar. Padahal Nisa bukan si buruk rupa atau si antagonis yang sukanya cari gara-gara.
Kali itu, Nisa mencoba merubah penampilan. Yang biasa rambutnya diikat, sekarang surai hitam bergelombang itu jatuh terurai sampai punggung. Jika saat kelas sepuluh dan sebelas, liptint atau lipbalm sebagai teman percaya diri, sejak naik ke kelas dua belas, wajah itu sudah dilapisi dengan olesan make up tipis-tipis.
"Nisa, boleh tukeran tempat duduk nggak? Mata gue minus nih. Kalau di belakang, takutnya sering ketinggalan," pinta seorang perempuan, yang tidak salah namanya Muti.
"Terus gue duduk di mana?" tanyanya.
Muti menggaruk tengkuk tak enak. "Di meja belakang, nggak apa-apa, 'kan?"
"Oh, meja belakang. Oke, oke, nggak masalah, kok." Nisa yang sebelumnya menempati meja kedua, harus terpaksa berdiri untuk pindah. Namun, sebelum itu, Nisa sempatkan untuk melirik teman satu meja yang tengah mengobrol dengan gadis lainnya.
Mata minus? Bolehkan Nisa tertawa? Ya, memang Muti ini sudah mengenakan kaca mata sejak MPLS, tapi tidak separah itu sampai-sampai harus duduk dekat dengan papan tulis. Sebelum Muti mengatakan alasannya pun, sebenarnya Nisa sudah tahu karena apa ia diminta untuk pindah. Jawabannya sudah pasti karena Muti tidak ingin duduk sendirian di kursi belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Chocolate [End]
Teen FictionIbaratkan kepingan cokelat yang jika dikonsumsi terus-menerus akan membawa penyakit. Seperti itulah jalan yang Denis dan Nisa putuskan untuk dilalui. Pertemuan yang semula hanya sebagai pengisi rasa bosan dan tidak lebih dari pelarian semata, harus...