Tiga purnama berlalu dengan sangat apik, sampai-sampai Nisa merasa hidup bagai di tanah surga. Hubungan dengan Denis juga begitu manis, bahkan manisnya sekeping cokelat yang amat ia hindari--sebab alergi menjadi alasan--pun kalah manisnya dengan cara pemuda itu menyikapi dirinya.
Asmara semasa sekolah memang seindah jingga saat senja; sehangat kopi di tengah rintik tiba; secantik pelangi usai hujan mereda; dan sesejuk semilirnya angin di waktu mentari baru menyapa. Nisa akhirnya mampu untuk bersyukur karena telah lahir di muka bumi.
Di tengah acara sarapan sandwich ala Ratih; telur mata sapi setengah matang dan sosis berbalut keju di dalam. Keluarga kecil itu membuat janji untuk mengadakan acara makan malam di luar, edisi Ratih yang genap berusia tiga puluh sembilan tahun.
Dress biru langit setinggi lutut dengan rundai putih di sisi bawah begitu cantik memajang di tubuh Nisa. Tatapan rambut tidak begitu ia apa-apakan, hanya dicatok lurus tergerai gemulai saat angin berembus.
Di bawah meja, kaki terbalut hells senada mengetuk berulang kali berganti-ganti ke lantai dengan ujungnya yang mengerucut. Pandangan mengedar ke setiap sudut ruangan berisi para manusia berhura-hura di setiap meja bulat berisi hidangan. Restoran Nisa pilih untuk mengabadikan momen pertambahan sekaligus pengurangan umur sang Mama, menciptakan kesan baru yang manis dan harmonis ketika hubungan direnggut oleh urusan pribadi masing-masing.
"Mama kamu udah datang?"
Nisa menggeleng meski Denis yang jauh di seberang sana tidak mampu melihatnya. "Belum, masih lama juga kayaknya. Kan, emang aku sengaja datang duluan," jawabnya via telepon.
"Kenapa enggak video call aja sih. Penasaran tau, mau lihat pacar aku pakai dress."
Terkikik geli, Nisa melempar kode untuk menunggu sebentar pada waiters yang mendekat. "Nanti dulu, aku mau pesen," katanya, lantas menerima buku menu yang pelayan wanita memberikan.
Mendikte semua pesanan termasuk birthday cake dengan request tulisan "Wish you all the best, Mom" juga lilin sederhana menancap di tengah, waiters itu sigap menyalin pesanan di buku kecil yang senantiasa ia bawa.
"Pesanan aku enggak sebegitu banyaknya, 'kan? Masih wajar dan enggak bakal nambahin berat badan?" Percakapan yang sempat terselang interaksi pelanggan dan pelayan, dilanjut kembali.
Suara tawa renyah terlempar, Denis bergumam nama Nisa sebanyak tiga kali. "Mau nambah atau enggak, yang paling terpenting itu tubuh kamu sehat."
"Bakalan jelek kalau gendut."
"Yaudah, nanti disedot pakai vakum cleaner."
Nisa berdecak yang berakhir jadi terkikik geli. "Kamu kira lemak aku ini debu apa? Enggak sekalian sedot dosa aja biar langsung masuk surga," celetuknya asal.
Denis menegur dengan dehaman. "Kalau aku ada di depan kamu, udah tak sentil jidatnya. Ngomong, kok, asal."
Obrolan terhalang jarak terus berlanjut. Nisa yang memanfaatkannya untuk mengusir bosan, sedangkan Denis yang sengaja agar sang pacar tak terserang rasa gundah menunggu kedatangan Ratih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Chocolate [End]
Genç KurguIbaratkan kepingan cokelat yang jika dikonsumsi terus-menerus akan membawa penyakit. Seperti itulah jalan yang Denis dan Nisa putuskan untuk dilalui. Pertemuan yang semula hanya sebagai pengisi rasa bosan dan tidak lebih dari pelarian semata, harus...