Twenty Two

35 6 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Suara lonceng yang menggantung di sudut atas pintu kaca seolah menjadi magnet bagi wanita itu mengalihkan atensi dari layar benda pipih yang baru saja dilewati. Seorang pria yang tak lain dan tak bukan adalah Denis berdiri kaku di ambang pintunya, melambaikan tangan kentara begitu canggung, bersama senyuman yang tak kalah tampak ragu.

Bangunan khas muda-mudi berkumpul itu selalu ramai, lagu know me too well milik New Hope Club memenuhi Cafe siang itu. Denis menarik napas dalam, embusan panjang dia lakukan. Berjalan mendekat dengan langkah yang pria itu usahakan agar terlihat biasa saja ke salah satu meja di meja dekat pilar kayu yang sudah terisi pengunjung.

"Hai," sapa Denis melambaikan tangan. "Udah lama, ya? Sorry telat," cicitnya berlanjut menarik kursi, lantas ia duduki.

Wanita itu--Feby--mengangguk. "It's okay, lagian aku suka tempat ini juga, kok. Cita rasa kopi yang mereka buat selalu jadi candu," pujinya tersenyum senang.

Denis mendongak kala Barista datang membawa dua cangkir coffee latte. Ia tidak perlu bingung perihal siapa yang memesan kopi kesukaannya itu, karena tanpa bertanya pun, Feby terlalu dalam mengenal dirinya.

Pupil Feby bergerak turun ke jemari Denis yang mengangkat cangkir putih. Tidak terdapat lingkaran benda kuning atau putih di jari manisnya, sebuah simbol pengikat janji itu seolah hal buruk yang tak patut dipamerkan.

"Kenapa cincinnya dilepas?" tanya Feby enggan mau menebak-nebak sendiri.

Uhuk.

Kopi hangat yang baru saja masuk ke mulut berhasil membuat pemuda itu terbatuk-batuk. Alis Denis seketika terangkat, mendadak terserang kegelisahan. Harap cemas jika wanita di depannya ini tahu hal yang sebenarnya.

"Aku mana ada pakai cincin. Kamu tuh ada-ada aja," jawabnya mengelak diiringi tawa garing.

Feby membuang muka, terkekeh samar begitu bengis. "Udah deh, Den. Stop pasang topeng seolah kamu malaikat yang berhati suci, aku udah tau semuanya, kok," ujarnya gamblang dengan wajah sarat akan kekecewaan. "Bahkan terakhir kali kita ketemu bulan lalu pun, aku sebenarnya udah tau ... cuma berlagak bodoh aja sampai kamu mau jujur sama aku. Tapi ternyata ... kamu makin menjadi-jadi, ya, Den?"

Denis meraih latte-nya lagi, menenggaknya seiring diri yang sudah ketar-ketir. Bibir diulum berulang kali sampai wanita di hadapan jengah melihatnya bagai maling yang tertangkap basah.

Tetapi, memang Denis layak disebut maling. Maling kepercayaan Feby.

"Ke mana Denis yang dulu? Denis yang selalu terbuka dan enggak pernah tega buat sakitin orang apalagi cewek. Kamu bawa Denis ke mana? Tempat mana kamu buang Denis yang aku kenal?" Suara Feby tercekat, terdengar lirih. Sungguh ini tidak adil.

Perlakuan Denis begitu keterlaluan. Semua cinta dan segenap hati yang telah ia berikan seolah bukan berarti apa-apa baginya. Janji untuk terus bersama sampai rambut saling memutih atau bahkan kulit yang tak kencang lagi seketika terhapus dalam daftar yang harus mereka penuhi, meluap bersama udara, terbawa angin entah ke mana.

Chocolate [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang