Ibaratkan kepingan cokelat yang jika dikonsumsi terus-menerus akan membawa penyakit. Seperti itulah jalan yang Denis dan Nisa putuskan untuk dilalui.
Pertemuan yang semula hanya sebagai pengisi rasa bosan dan tidak lebih dari pelarian semata, harus...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ijab kabul rampung terlaksana sejak tiga jam lalu dengan empat kali pelafalan yang selalu berhenti saat hendak menyebut nama Nisa. Mungkin orang lain mengira jika Denis hanya terdorong keterpaksaan bertanggung jawab untuk menikahi pacarnya itu, namun pada kenyataannya ia hanya berat harus merelakan semua mimpi-mimpi yang sudah dirancang tinggi nan apik sejak dulu harus gugur begitu saja.
Nisa duduk merenung di atas kasur busa berlapis seprai putih dengan punggung bersandar di kepala ranjang dan kaki selonjoran tertutup selimut tebal warna senada. Pandangan remaja yang baru saja melepas masa lajangnya itu begitu kosong, sama halnya dengan masa depan yang tak bisa ia isi dengan warna-warni kehidupan layaknya remaja lain.
Seperti lahan yang gersang, mungkin begitulah hidup Nisa. Tidak ada tujuan, tidak ada waktu yang mengejar, tidak ada simpangan jalan yang harus Nisa pikirkan mana untuk di pilih.
Dalam diamnya ia bertanya-tanya. Benarkah gadis berpiyama ini dirinya?
Pintu beradius kurang dari empat meter terbuka, memunculkan Denis berpakaian santai usai kembali setelah menemui teman-teman dekatnya yang datang menjadi tamu tanpa undangan.
Mau bagaimana lagi, pernikahan dini terlalu memalukan jika banyak massa yang menyaksikan. Hanya dihadiri keluarga terdekat, beberapa saksi dari petugas KUA, RT dan RW setempat, dan hitungan jari remaja sebaya tetangga.
Meski berita jika Nisa tengah hamil sebelum waktunya sudah sampai ke telinga seluruh murid SMA Negeri Cempaka. Acara sakral yang seharusnya penuh suka, harus berdominan duka. Nisa dengan kebaya putih hanya bisa menunduk dengan meremas jemari di atas paha. Ia terlalu malu dan bernyali ciut jika harus bersitatap dengan Ratih yang sudah menyalakan api kekecewaan begitu membara.
Denis menutup daun pintu lamat-lamat saat sadar jika Nisa sedang khidmat dalam bayang-bayang kesuraman. Kaki berlapis celana jeans moccha di atas lutut itu melenggang dibuat sebisa mungkin tidak menimbulkan suara, Denis terlalu jahat jika mengusik Nisa dengan kebisingan.
Dengan penuh kehati-hatian, bokongnya menatap permukaan kasur, duduk bersebelahan dengan sang Istri yang belum juga menyadari kehadirannya.
Menatap lamat-lamat wajah sendu Nisa, Denis ikut merasakan kesedihan. Karena memang yang terjebak dalam lubang hitam ini bukan hanya Nisa seorang, dirinya pun ikut serta.
"Andai malam itu aku anter ke rumah kamu, ya, Nis. Mungkin pikiran kita penuh sama tugas-tugas, bukannya sibuk cari jalan keluar biar enggak jadi beban mereka," ucap Denis.
Suara yang tiba-tiba memecahkan keheningan, membuat Nisa terjingkat kaget. Ia menoleh dalam kondisi terkejut menatap penuh protes Denis. "Sejak kapan kamu ada di sini?" tanyanya.
"Baru aja duduk."
Nisa hanya ber-oh seadanya, gadis itu lagi-lagi menjadikan tembok di depannya yang tidak terdapat apa-apa sebagai pusat pandang. Bersama helaan napas yang begitu berat nan panjang, kaki jenjang Nisa ditarik menjadi menekuk untuk ia peluk meringkuk.