Forgive Me

245 31 8
                                    

Aku hanya bisa menatap saat peti mati itu direndahkan di liang lahat, seakan masih tidak percaya dengan apa yang sudah terjadi. Air mataku sudah tidak lagi keluar, entah hatiku mendadak mengeras atau aku hanya terlalu lelah menangis, yang jelas ... sekarang aku tak lagi merasakan apapun.

Di sebelahku, Issac menangis terisak, seluruh tubuhnya berguncang hebat dalam pelukan Om Hendrik yang sedari tadi berusaha menenangkannya, meski keadaan Om Hendrik juga tak jauh lebih baik.

Sepasang tangan kekar merangkulku dari belakang, aku menatap ayah yang menawarkan senyum sedih ke arahku, tapi aku seolah lupa cara untuk membalas senyumannya itu.

Dua orang yang beberapa bulan lalu, hanya kuanggap bagian tidak penting dalam hidupku, dua orang yang selalu kutolak kehadirannya. Kini, saat aku mulai menyayangi mereka, semua seakan terlambat.

Aku menatap tak berdaya saat kedua peti itu telah sampai ke dasar liang, dan tangisan Isaac mendadak menjadi bertambah histeris. Semua mulai terasa semakin jauh, aku mulai merasa kesulitan untuk fokus pada apapun, semua suara seolah menggema menjadi satu dan pandanganku mulai mengabur hingga semua berganti kegelapan, dan segalanya menjadi sunyi.

"Jangan panggil Ara kakak!" Aku menutup telinga, seakan hal itu dapat melenyapkan kenangan tersebut.

"Dia bukan adik Ara!"

Sepertinya cuplikan-cuplikan film, tiba-tiba semua kembali berputar di kepalaku. Setiap penolakan yang kulakukan, setiap perlakuan buruk dan kata-kata kasar yang aku ucapkan, semua kembali teringat dan hal itu membuatku merasa sesak.

Rasa penyesalan yang begitu besar seakan membuatku tenggelam dalam kesalahan-kesalahan yang kubuat. Air mataku jatuh. Kedua kakiku terasa begitu lemas, kalau bukan karena ayah yang memeluk tubuhku sekarang, mungkin aku sudah jatuh terduduk.

"Tenang, Ara ... Ikhlaskan kepergian mereka," ayah terus membisikkan, tapi isakanku sama sekali tidak mereda.

Tidak ada kalimat yang bisa diucapkan ayah, yang bisa mengusir perasaan bersalah yang aku rasakan sekarang.

"Millie ...! Mama ...!" Teriakan pilu Isaac semakin menyayat hatiku.

Iya, Millie adikku harus meregang nyawanya setelah tiga hari berjuang di rumah sakit. Saat aku menemukannya, Millie sudah menelan terlalu banyak air dan sebagian telah masuk ke dalam paru-parunya. Andai aku langsung membawanya ke rumah sakit hari itu, Millie mungkin bisa selamat, tapi aku tidak segera menolong Millie.

Karena keterlambatanku, nyawa Millie tidak tertolong.

Aku mengetahui kematiannya saat tersadar di rumah sakit, ayah yang saat itu sudah kembali, awalnya berusaha untuk menutupi hal ini dariku, tapi setelah aku mendesak, akhirnya dia memberitahuku kalau Millie tidak selamat.

Sedangkan Darrell, saat ini keadaannya masih kritis di rumah sakit. Darrell mengalami trauma cukup parah di kepalanya akibat benturan berkali-kali, dan hingga hari ini, Darrell belum terbangun dari tidur panjangnya.

Dan mama ... Setelah upacara pengusiran setan yang dipimpin Pasteur Adam, mama kembali sadar. Dia begitu histeris saat mengetahui keadaan Darrell dan Millie. Dua hari setelah kematian Millie, mama mengakhiri hidupnya karena dihantui rasa bersalah.

Aku menutup mata, masih mengingat saat terakhir aku melihat Millie. Sorot ketakutan pada wajah adikku saat mama membawanya ... seandainya aku lebih peka pada keadaan dan membawanya, mungkin anak itu masih bersama kami hari ini.

Saat pasir itu mulai dijatuhkan dan menutupi peti mati keduanya, tangisanku kembali pecah.

Mereka benar-benar sudah pergi ....

Maafkan kak Nara, Millie ....

Maafkan Ara, Mama ....

...

Menatap pintu berwarna putih di depan, hatiku mendadak ragu. Aku mencoba mengatur napas sebelum meraih kenop pintu dan membukanya perlahan.

Pemandangan di dalam sana lagi-lagi menambah rasa sakit yang makin hari seakan semakin menumpuk. Tubuh kecil itu kini terbaring lemah, begitu banyak alat dan selang-selang –yang entah apa fungsinya– kini memenuhi tubuhnya. Aku melangkah mendekat, menatap wajah tenang Darrell.

Begitu sepi, hanya suara dari hearth monitor yang bisa didengar.

"Darrell, apa kamu tidak mau bangun, hm? Sudah lama sekali kamu tidur, apa tidak lelah?" Mungkin aku terlihat konyol saat ini, karena mengajak bicara seorang yang bahkan mungkin tidak akan mendengarku.

"Darrell, kami memakamkan mama dan Millie tadi pagi, Isaac dan om Hendrik menangis begitu keras, mereka bahkan tidak dapat mengucapkan apapun untuk mengantar mama." Air mataku menetes tapi segera kuhapus dan memaksakan sebuah senyuman.

"Apa kau tau? Isaac tidak pernah memegang kameranya lagi sekarang, anak itu selalu mengurung diri dan menangis." Aku terkekeh, kembali mengusap bulir bening yang lagi-lagi lolos dari sudut mata.

"Om Hendrik juga selalu menyibukkan dirinya dengan pekerjaan, Ara rasa keadaannya tidak terlalu baik, mereka merindukanmu, apa kau tidak kasihan pada mereka, Darrell?" Aku menarik napas.

"Isaac sangat merindukanmu, kau tau anak itu sangat membutuhkanmu." Menggenggam tangannya yang begitu pucat, aku tak lagi mempedulikan air mata yang terus mengalir semakin deras.

"Ara merindukanmu, Darrell, cepatlah bangun, kami semua menunggumu." Dan tangisku pecah.

"Maafkan Ara."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 11, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Rumah Angker Keluarga DewittTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang