^ Millie
Hujan deras diikuti suara petir yang bersahutan membuat mataku sulit terpejam. Menatap Millie yang tertidur pulas membuatku iri. Mengedarkan mata ke sekeliling kamar, ditemani lampu tidur ala Disney yang menawarkan cahaya remang-remang, menguatkan kesan vintage kamar kami.
Gelagar suara petir membuatku melonjak dari tempat tidur. Menyadari kalau gorden jendela sedikit terbuka, aku segera menghambur untuk membetulkannya. Kilatan cahaya halilintar di luar terlihat begitu mengerikan dan indah di waktu yang bersamaan.
Pikiranku kembali pada pertemuan dengan Rey siang tadi manakala mataku terhenti pada jendela di depan. Membuatku berpikir apa yang sebenarnya terjadi pada seorang Grace.
"Kuburan-kuburan di sini sudah begitu tua," tuturku saat melihat tahun yang terpampang pada salah satu nisan.
"Hmm ... sebagian besar mereka berasal dari abad ke delapan belas," Jelas Rey. "Semua yang ada di sini adalah keluarga pendiri kota ini." Lanjutnya.
"Pendiri kota?" tanyaku.
"Iya, kota ini didirikan oleh lima keluarga utama." Tangannya menunjuk satu sisi. "Keluarga De Vries" Lalu menunjuk ke arah lain. "Dewitt, Dirk, Baker, dan keluarga barnhard." Lanjutnya dengan menunjukkan masing-masing posisi makam.
"Oh wow." Aku menatap Rey, mencoba mencerna semua informasi. "Keluarga Dewitt yang kau maksud, apakah mereka yang dulu tinggal di rumah tua itu?" tanyaku penasaran. Rey mengangguk. "Oh, Grace pun dimakamkan di sini?"
"Tidak," Rey menjawab singkat. Aku menatapnya, menunggu dia melanjutkan. "Lady Grace menghilang begitu saja suatu hari, orang-orang tidak yakin apakah dia masih hidup atau mati saat itu." Aku begitu terkejut mendengar penjelasan Rey tersebut.
"Dan tidak ada yang mencoba mencarinya?" tanyaku lagi, berharap bisa tau lebih banyak.
Rey mengangkat bahu. "Tidak ada yang peduli setelah skandal besar yang dia lakukan, yang membuatnya harus hidup dalam pengasingan."
"Memangnya skandal seperti apa yang dilakukan sampai-sampai dia harus diasingkan?"
"Oke, bisakah kita tidak membicarakan orang-orang yang sudah mati dan mulai bicara hal-hal yang menarik, seperti misalnya, apa kau mau pergi denganku besok?" Rey mengalihkan pembicaraan, menatapku dengan senyum manisnya. Kata-katanya membuat wajahku mendadak terasa hangat.
Suara gelagar petir membangunkanku dari lamunan. Aku melihat rumah Dewitt untuk terakhir kali sebelum menutupkan gorden dan kembali ke tempat tidur. Entah kapan tepatnya, aku pun terlelap.
***
"Dan Pastor Adam juga mengizinkanku melihat tempat pengakuan dosa yang lama." Suara Issac segera menyambutku manakala menuruni tangga. "Betul-betul keren, kau harus ke sana, Darrell. Dan kitab-kitab kuno yang berada di sana." Aku hampir tertawa melihat tampang bosan Darrell yang seolah terpaksa menanggapi Issac, yang terus mengulang cerita yang sama sejak kunjungannya ke gereja tempo hari.
"Darrell," panggilku. Darrell mengangkat wajahnya ke arahku, "bisa ikut Ara sebentar?"
"Apa aku juga boleh ikut?" tanya Issac penuh harap.
"Ga, Ara cuma mau ada perlu sebentar dengan Darrell." Issac terlihat kecewa dengan responku tapi tidak membantah. Darrell terlihat mendesah pelan, sebelum beranjak dan mengikutiku. Kami keluar melalui pintu belakang.
"Ada apa?" tanyanya dingin.
"Kemarin, Rey memberi tahu sedikit tentang rumah terkutuk milik keluarga Dewitt di sebelah."
Darrell mencubit batang hidungnya. "Tidak ada yang mengatakan kalau rumah itu dikutuk, Kak Nara," dia bicara perlahan, seakan sedang menjelaskan pada anak kecil yang tak mengerti apa-apa.
"Ya, ya Ara tau," potongku, "Maksud Ara, tentang rumah itu yang masih dihantui hingga sekarang." Aku menatap Darrell, menunggu semacam respon darinya, tapi bocah ini hanya menatapku datar. "Apa kau tidak penasaran sama sekali?" tanyaku.
"Kenapa?" Apa dia benar-benar menanyakan itu?
"Ya ...." Aku terdiam, bingung bagaimana meresponnya. "Setidaknya kamu ingin tau kenapa Grace terus mengganggu kita?"
"Siapa Grace?" Kali ini, Darrell terlihat sedikit tertarik dengan percakapan kami.
"Hantu wanita yang ada di rumah itu siapa lagi?"
Belum sempat Darrell merespon tiba-tiba suara benturan terdengar, disusul tangisan histeris Millie. Aku dan Darrell segera menghambur ke dalam dan menuju sumber suara. Issac sudah mendahului kami saat kami tiba di ruang tengah.
"Ada apa?" Darrell bertanya, napasnya tersengal akibat berlari tadi.
Mama yang duduk di lantai memeluk Millie yang masih menangis menoleh ke arahnya dan menjawab. "Panggil ayah." Darrell tak membuang waktu dan segera memenuhi perintah mama.
Mataku menangkap cairan merah di antara pelipis Millie, terus mengalir di sisi wajahnya. Tak jauh dari posisinya, sebuah pajangan tua dari tanah liat tergeletak dalam keadaan terbelah. Aku mendekati dan meraih pecahan hiasan menyerupai patung aneh itu, dan menyadari bercak darah di satu sisi.
"Bagaimana benda ini bisa mengenai Millie?" tanyaku tak mengerti.
Aku ingat sekali pajangan ini berada di perapian, saat itu, Issac merekam benda ini dengan kameranya saat pertama kami tiba di sini. Lantas bagaimana mungkin benda ini seolah sengaja dilempar, karena mustahil kalau hiasan ini terjatuh empat meter dari posisinya.
"Entahlah, mama tadi sedang di dapur saat Millie berteriak," jawab mama sambil menenangkan Millie yang masih menangis.
"Mama di dapur?" kali ini, Issac yang bertanya. "Tapi aku mendengar Millie mengobrol sama Mama sebelumnya." Mama menatap Issac terkejut.
"Apa maksudmu? jangan mulai mengatakan hal-hal konyol," bentaknya, membuat Issac sedikit tersentak.
"Ada apa? kenapa banyak keributan." Aku melihat Om Hendric yang bergegas masuk dan segera mendekati mama dan Millie. "Astaga." Om Hendrik segera mengambil Millie dari mama dan membawanya ke belakang, mungkin untuk segera memberikan pertolongan pertama. Mama segera mengikuti mereka.
Mataku tak meninggalkan wajah Issac, yang masih terlihat sedih karena dimarahi mama barusan.
Bagaimana Issac begitu yakin kalau dia mendengar suara mama bersama Millie, sedang pada kenyataannya mama berada di dapur yang jaraknya cukup jauh dari sini.
Rumah ini mulai bertambah aneh ... dan aku akan mencari tau penyebabnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Angker Keluarga Dewitt
HorrorInara Cornellia Gerritt, seorang gadis lima belas tahun. Sejak perceraian kedua orang tuanya, Ara tinggal berdua dengan sang ayah. Hubungan Ara dan ibunya tidak terlalu baik, karena perasaan cemburu terhadap anak-anak dari pernikahan baru sang ibu...