Tristan

1.5K 101 6
                                    

"Kau tidak ingat." Suara Rey memecah lamunanku. Aku hanya menatapnya bingung untuk beberapa saat, sebelum teringat rencana kami hari ini.

"Oh, Tuhan!" Tanganku refleks menepuk dahi. Menunduk ke bawah, mataku disambut sleeper bulu yang menutupi kakiku, kemudian short abu-abu hingga tangtop putih yang kukenakan untuk tidur semalam. Aku bahkan tak ingin membayangkan seberantakan apa rambutku sekarang. Aku menatap Rey dengan perasaan tak enak. "Aku betul-betul lupa, maaf." Rey tertawa dan menggeleng pelan.

"Tidak apa-apa, lagi pula, sepertinya aku yang datang terlalu cepat."

"Nara? Siapa yang di luar? Kok gak disuruh masuk?" Aku menoleh ke arah Om Hendrik.

"Oh ... ini Rey, dia dan kakeknya merupakan pengurus gereja St. Andrew. Dan, Rey, kenalin ini Om Hendrik."

"Senang bertemu dengan Anda." Rey menjabat tangan Om Hendrik.

"Rick, panggil aku Rick. Masuklah," ajak Om Hendrik.

"Kau bisa menunggu di dalam selagi aku bersiap-siap," usulku saat Rey terlihat seolah akan menolak tawaran Om Hendrik. Rey tersenyum dan masuk ke dalam.

"Sepuluh menit saja," ucapku sebelum berlari ke atas.

Aku berlarian ke kamar mandi setelah terlebih dahulu menyambar baju yang akan aku kenakan dari lemari. Segera mencuci muka dan membersihkan diri sekenanya, mataku melihat memar di pergelangan tanganku.

Aku mematung beberapa menit menatap memar yang terlihat seperti seorang mencengkeram tanganku begitu kencang. Berarti apa yang terjadi tadi itu bukan mimpi. Perasaanku seketika menjadi tidak enak dan aku langsung buru-buru bersiap-siap dan bergegas turun ke bawah.

---

"Siapa menyangka kota kecil seperti Greenwood memiliki tempat seindah ini," ucapku pelan. Mataku tak beralih dari keindahan air terjun di depan, di sini terasa begitu tenang.

"Greenwood selalu dikenal dengan keindahan alamnya," jawab Rey, "ada banyak tempat yang ingin kutunjukkan padamu." Lanjutnya.

"Aku tidak sabar."

"Hei ... kenapa wajahmu?" tanya Rey tiba-tiba.

Aku menyentuh pelipis kiri yang memar akibat terjatuh kemarin. "Aku terjatuh saat pergi ke rumah tua itu," akuku.

"Rumah tua ...."

"Oh kau tau, rumah milik keluarga Dewitt."

"Apa? Apa kau gila? kau tau sudah berapa lama rumah itu ditinggalkan? bagaimana kalau bangunannya roboh dan menimpamu saat berada di dalamnya?" Aku sedikit terkejut mendengar omelan Rey.

"Ya Tuhan, kau terdengar seperti Darrell." Tawaku. "Anak itu juga mengatakan hal yang sama."

"Dan kau seharusnya bisa lebih dewasa dibanding Darrell." Rey memutar bola mata, sebelum ekspresi wajahnya berubah. "Anak itu jauh berbeda sejak terakhir aku melihatnya," ucapnya tiba-tiba.

"Siapa?"

"Adikmu, Darrell." Aku mengerjap, Rey pernah bertemu Darrell?

"Kau pernah bertemu Darrell?" tanyaku bingung. "Tapi dia baru pertama kali ke sini."

"Yang lain mungkin, tapi Darrell dan Tuan Dirk menghabiskan beberapa waktu di sini empat tahun lalu." Rey terlihat seolah sedang mengingat-ingat. "Tapi Darrell yang dulu betul-betul berbeda, sangat ceria dan suka berbicara, dia sangat suka berbaur dengan orang-orang baru." Rey menggeleng. "Karena itu aku sedikit bingung saat melihatnya lagi, dia seperti orang yang berbeda."

Kepalaku dipenuhi begitu banyak pertanyaan, apa yang sebenarnya disembunyikan Darrell?

---

Saat pulang, hanya ada mama di rumah, sedang Om Hendrik dan yang lainnya sedang berada di gereja. Aku melirik jam yang sudah menunjukkan pukul lima sore. Mengintip ke belakang, mama terlihat begitu asik menciumi bunga mawar yang bermekaran, sejak kapan mama suka mawar?

Rumah Angker Keluarga DewittTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang