Pemberontakan

1.2K 98 14
                                    

Darell sudah bisa melihat bangunan rumah mereka saat smartphone miliknya berbunyi, bocah itu segera menjawab setelah melihat nama pemanggil.

"Kak Nara, aku sudah hampir sampai," ucapnya tanpa menunggu Inara berbicara.

"Tidak ... tidak Darell jangan ke sini!" Jelas terdengar kepanikan dalam suara Ara, membuat Darell semakin mempercepat langkahnya.

"Apa? ada apa? Kak Nara apa semua baik-baik saja?"

"Rey sedang menuju kemari, tunggu dia datang, jangan ke sini sekarang."

Darell baru saja akan menjawab ketika Inara menjerit histeris.

"Kak Nara! Ada apa? Apa yang terjadi?" tidak ada jawaban, bocah itu mengumpat saat melihat panggilan sudah terputus.

Dia segera berlari sambil mencoba menghubungi kembali nomor Ara, tapi nomor Ara sudah tidak dapat lagi dihubungi. Darell tak membuang waktu saat mendapati semua pintu terkunci, bocah itu menuju sebuah jendela kecil di dapur, yang sudah rusak sejak lama dan tidak juga diperbaiki, dan hari ini dia betul-betul bersyukur karena hal itu.

Meraih kayu kecil yang digunakan sebagai pengganjal jendela, Darell dengan mudah membukanya. Dia mengendap perlahan, berusaha untuk tidak bersuara sedikitpun.

Sebuah suara mencuri perhatiannya. Darell segera menaiki anak tangga dengan berhati-hati. Mengawasi setiap sudut rumah mencari keberadaan Inara, namun Darrell tidak mendapati siapapun di sana.

Suara yang sama terdengar lagi dari kamar orang tuanya, Darell tak membuang waktu dan mendatangi asal suara.

"Mama?" Darrell merasa lega saat mendapati sang ibu berdiri menghadap dinding. Bocah laki-laki itu mendekat perlahan. "Ma? Semua baik-baik saja?"

Nyonya Dirk tetap bergeming, sambil mengalunkan nada acak di bawah napasnya. Darell mendekat perlahan, menyentuh pundak nyonya Dirk yang terasa jauh lebih dingin dari biasanya. Wanita itu berbalik, mengetuk seluruh napas bocah laki-laki itu dengan perawakannya yang tak biasa.

Seluruh kulit wajah dan seluruh tubuhnya tampak begitu pucat dan kering bahkan terlihat retakan parah di mana-mana. Bola matanya seakan berputar ke belakang, tidak menampakkan iris hazel miliknya.

Darell membeku, menatap dengan napas tercekat ketika sang ibu menyeringai dengan tatapan kosong.

"Arthur...." Suaranya lirih, menyebabkan desiran aneh pada dada bocah sepuluh tahun itu. Membangunkannya dari lamunan membuatnya spontan mengambil langkah ke belakang.

"Sudah lama sekali, Arthur."

Mendadak pintu kamar terhempas dan terkunci di belakang. Mengurungnya bersama siapapun yang sekarang berada dalam tubuh sang ibu.

---

April 3, 1754

Grace menatap berbagai hadiah mewah yang berjejer di atas tempat tidurnya, berbagai jenis perhiasan dan pakaian mewah terhampar di sana, tapi aneh semua itu tidak mampu membuang kekosongan di hatinya. Gadis itu ingin berteriak, memberontak tapi dia tidak tau harus melakukan apa.

Pintu kamarnya terbuka dan Stephen masuk dengan senyum bahagia.

"Lihat semua ini, kalian bahkan belum menikah dan pria itu sudah memanjakanmu," godanya.

Grace memaksakan sebuah senyuman, tidak ingin sang kakak menangkap gejolak hatinya saat ini.

"Seharusnya Tuan Arthur tidak perlu memberikan semua ini," ucapnya halus. "Aku bahkan tidak yakin dapat menggunakan semua ini." Sebuah senyum tipis menghias wajahnya.

Rumah Angker Keluarga DewittTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang