"Ara gak suka di sini, Yah!" eluhku.
Sesampainya kami di rumah, aku tak membuang waktu dan langsung merebahkan diri di ranjang lalu menelpon ayah. Aku betul-betul sudah tidak bisa bertahan di sini.
"Rumah Om Hendrik berhantu, Yah!" lanjutku dengan suara meninggi.
"Hus ... jangan ngomong sembarangan," tegur ayah dari ujung telepon, "jangan sampai Om Hendrik atau mama dengar Ara bicara seperti itu, itu bisa melukai perasaan mereka." Aku merebahkan kepala ke atas bantal dan mendengkus kesal, yang aku butuhkan sekarang bukan nasehat.
"Ya biar aja mereka dengar, orang ini emang kenyataannya, kok," kataku bersikeras.
"Inara!" Aku terdiam mendengar nada bicara ayah yang mendadak keras. "Ayah tau Ara tidak suka dengan Om Hendrik, tapi Ara sudah terlalu besar untuk terus menerus menunjukkan sikap seperti ini." Nada bicara ayah merendah, bahkan terkesan memohon, namun masih bisa kurasakan emosi di suaranya yang menyebabkan mataku mulai berkaca-kaca. Aku tak pernah suka saat ayah marah. "Bagaimanapun Om Hendrik suaminya mama, dia juga ayah dari adik-adik Ara."
"Mereka bukan adik Ara!" sergahku.
"Ar--" Aku memutus panggilan, sebelum kemudian menjatuhkannya kasur dan beranjak.
Terdengar bunyi panggilan masuk saat aku akan keluar dari kamar, aku berbalik dan menimbang-nimbang untuk menjawabnya atau tidak, namun egoku menang dan aku meninggalkan kamar.
"Nara." Tanganku baru saja hendak membuka pintu kamar mandi saat suara mama menghentikanku. "Kamu gak keberatan kalau Mama duluan, kan?" pintanya, aku tak menjawab dan hanya mundur, menunjukkan pada mama kalau aku tak keberatan. "Terimakasih."
Segera mama masuk dan mengunci pintu. Sejurus kemudian bisa didengar suara air menyela, aku menyandarkan diri ke dinding, menghadap langsung ke pintu dan menunggu. Keningku mengerut saat terdengar suara desahan di dalam kamar mandi, aku menatap canggung dan mulai mempertimbangkan untuk pergi dan menunda untuk mandi. Suara desahannya semakin jelas, oh Tuhan, ini sama sekali bukan sesuatu yang mau kudengar. Saat terdengar seperti suara napas yang tercekat, aku merasa cukup dan memutuskan untuk pergi.
BRUKK!
Langkahku sontak terhenti, mataku menatap khawatir pada pintu kamar mandi yang masih terkunci. "Ma?" panggilku, tidak ada jawaban.
"Mama?" panggilku lagi, kali ini sambil mengetuk pintu. Suara seperti hantaman benda keras terdengar di pintu bagian dalam, membuatku segera mundur dan terjatuh saat kehilangan keseimbangan.
"Aaaaaaaa!" Suara jeritan histeris mama membangunkan seluruh sel di tubuhku, aku menghambur mendekati pintu dan mencoba membukanya sekuat tenaga, namun sama sekali tak membuahkan hasil.
"Mama! Mama!" jeritku terus menggedor pintu. Jeritan mama semakin keras, diiringi suara benda berjatuhan.
"Hentikan! hentikan! TOLONG!"
BRAKK
"Mama! Buka pintunya!" Aku mulai menangis saat suara mama semakin histeris, tapi bukan itu yang membuatku panik. Suara kedua yang tak kukenal, yang mengerang bersamaan dengan jeritan mama yang membuat semua bulu di badanku berdiri.
"Ada apa?" Terdengar suara panik Darell, wajahnya yang selalu terlihat tenang menunjukkan raut kekhawatiran. Matanya membulat menatap pintu kamar mandi saat menyadari suara yang ada di dalamnya. "Mama!" Darell berlari dan berusaha membuka pintu.
Bocah sepuluh tahun itu berusaha mendobrak namun tubuh kecilnya tak cukup kuat. "Bantu aku!" bentaknya.
"AAAA!" Jeritan memekikkan kembali terdengar. Aku terkesiap dan menyadari kalau Darell berbicara padaku. terdengar suara kaca pecah dan menghambur ke lantai.
"Pada hitungan ke tiga," Jeritan mama terdengar parau dan mulai melemah. "Satu ... dua ... tiga."
Kami menghantamkan tubuh ke pintu secara bersamaan, menyebabkan pintunya roboh dan aku jatuh menimpa Darell.
"Nara! Darell! kalian apa-apaan!" Aku mematung melihat mama yang sibuk menutupi dirinya dengan handuk, tak tampak sedikitpun hal aneh padanya.
Menatap ke arah Darell, bisa kulihat keheranan yang sama saat mata kami bertemu.
"Jangan diam di situ cepet keluar dulu, mama mau berpakaian." Kami tersadar oleh ucapan mama dan segera berdiri, tidak tanpa mengamati keadaan kamar mandi yang terlihat rapi, tanpa satupun barang yang terlihat tidak pada tempatnya.
Aku meraih Darell dan menyeretnya.
"Kamu juga dengar tadi." Itu bukan sebuah pertanyaan, aku hanya perlu memastikan kalau aku tidak gila dan berhalusinasi. Darell mengangguk, wajahnya masih terlihat shock.
Suara tawa terdengar saat pintu depan terbuka. "Tadi itu asik sekali, Yah, nanti kita bisa pergi lagi ya?" seru Issac dengan raut wajah bahagia.
"Iya, Yah, boleh kan?" Millie menimpali.
"Tentu, asal kalian janji jadi anak baik." Om Hendrik tertawa, sebelum ekspresinya berubah khawati saat pandangannya mengarah padaku dan Darell. "Ada apa? kenapa kalian terlihat pucat?" tanyanya khawatir.
"A--"
"Tadi Kak Nara terkurung di kamar karena pintunya mendadak macet." Aku menatap Darell heran, kenapa anak ini berbohong?
"Benarkah? ya sudah, nanti besok Om betulkan." Om Hendrik melempar senyum ke arahku.
"Darell, harusnya kau ikut dengan kami tadi," seru Issac menyalahkan rekaman kameranya dan menunjukkan pada saudara kembarnya itu. "Lihat ini, gerejanya betul-betul tua, seperti memasuki kastil vampir." Aku berjalan pergi, niat ke kamar mandi kuurungkan, setelah kejadian tadi, aku tidak tau apa aku akan bisa memasuki ruangan itu lagi.
Memasuki kamar tidur, mataku spontan mengarah pada jendela. Sesuatu menarik perhatianku, melangkah mendekat, napasku tercekat dengan apa yang kutemukan. Pada kaca jendela terdapa tulisan, seolah seorang sengaja membuatnya dengan jari. Satu kata, heenlopen, entah apa arti kata tersebut, yang jelas aku segera menghapusnya, berharap tiga minggu cepat berlalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Angker Keluarga Dewitt
HorrorInara Cornellia Gerritt, seorang gadis lima belas tahun. Sejak perceraian kedua orang tuanya, Ara tinggal berdua dengan sang ayah. Hubungan Ara dan ibunya tidak terlalu baik, karena perasaan cemburu terhadap anak-anak dari pernikahan baru sang ibu...