Bukan Dirinya

1.1K 87 18
                                    

Tidak berpikir panjang, segera kuraih beberapa handuk dan membungkus tubuh Millie. Terlihat pergerakan naik turun di dadanya membuatku sedikit lega, setidaknya Millie masih hidup.

Memeluk tubuh dinginnya erat-erat, aku segera beranjak meninggalkan kamar mandi. Bisa kudengar suara langkah kaki menaiki tangga. Langkahnya tidak terburu-buru, bahkan bisa dibilang sangat lambat tapi tiap langkah begitu keras, seakan sengaja membuatku mengetahui kedatangannya.

Memasuki kamar tidur Mama dan Om Hendrik, aku segera meletakkan Millie di atas tempat tidur sebelum mengunci pintu dan menyeret bufet kecil di samping tempat tidur ke depan pintu, berharap benda itu dapat menahan siapapun yang berada di luar agar tetap di luar.

Merogoh saku celana, aku mengeluarkan handphon dan berusaha menghubungi Om Hendrik.

"Nomor yang Anda tuju..."

Aku memutus panggilan dan segera mencari nomor Rey saat seorang mengetuk pintu kamar dari luar.

"Nara ...," suara mama memanggil, tapi aku tau itu bukan mama, entah siapapun dia, aku tidak ingin sampai dia mendekati kami. "Nara, Sayang ... buka pintunya," panggilnya lagi, kali ini mengetuk lebih kuat.

"Halo?" Terdengar suara Rey dari ujung telepon. "Hei apa Darell sudah sampai?" tanyanya.

"A--apa? Um Rey ..."

"Buka pintunya!" teriak Mama dengan nada marah, aku meraih Millie dan memeluknya.

"Ara? Siapa itu?" tanya Rey khawatir. "Ada apa di sana?"

"Nara ...." Suara mama kembali melembut, terdengar gesekan pada pintu, seolah mama menggeruskan kuku-kukunya di sana. "Izinkan mama masuk, Sayang." Suara cakaran di pintu terus terdengar membuatku terisak ketakutan.

"Ara ... Ara kenapa kau tidak menjawabku?" Suara Rey semakin khawatir, aku bisa mendengar pergerakan dari tempatnya.

"Kak Rey kak Nara kenapa?" Aku bisa mendengar suara Isaac bertanya.

Aku menjerit saat Mama menggedor-gedor pintu dengan kuat membuatnya bergetar.

"Ara!" Panggil Rey. Aku bisa mendengar dia mengatakan sesuatu pada Isaac tapi tidak begitu jelas dengan apa yang dikatakannya.

"Rey ... Rey, mama ... aku tidak tau apa yang terjadi tapi Mama berusaha menyerangku dan Millie."

Aku bisa mendengar tarikan napas Rey dari ujung telepon.

"Aku sedang menuju ke sana." Kata-kata Rey membuatku sedikit lega, hingga aku ingat apa yang dikatakannya tadi.

"Rey ... tadi kau mengatakan sesuatu tentang Darell, apakah dia menuju ke sini sendiri?" tanyaku sedikit takut, aku berharap demi apapun kalau tadi aku hanya salah dengar.

Rey mengumpat pelan sebelum menjawab. "Iya, dia tadi mengatakan akan menyusulmu, aku yakin dia sudah hampir sampai." Aku tidak menjawab dan segera mematikan telepon sebelum menghubungi Darell.

"Kak Nara, aku hampir sampai," ucapnya begitu menjawab telpon.

"Tidak ... tidak Darell jangan kesini."

Aku tidak menyadari suara gedoran sudah berhenti, suasana mendadak sepi.

"Apa? ada apa? Kak Nara apa semua baik-baik saja?"

"Rey sedang menuju kemari, tunggu dia datang, jangan ke sini sekarang."

Sebuah suara dari sisi kamar mengalihkanku, menatap ke jendela, aku menjerit histeris dan hanphoneku terlempar dari pegangan. Terlihat Mama di sana, tubuhnya seakan merayap pada dinding di luar, teriakanku membuatnya menoleh ke dalam melalui kaca jendela. Dia menyeringai dan berusaha membuka jendela kecil itu dengan mata menyala.

Aku menghambur dan segera menuju pintu dengan Millie yang masih di tanganku. Berusaha keras menggeser bufet yang menghalangi pintu, aku menangis melihat mama hampir berhasil membuka jendela. Aku berhasil menggeser benda berbahan kayu tersebut saat terdengar suara patahan, mataku menatap horor saat tubuh Mama mulai merayap ke dalam. Segera kusentak pintu dan keluar lalu berlari turun.

Menuju pintu depan aku hampir menjerit saat menyadari pintunya terkunci. Aku terdiam saat suara gerakan terdengar di atas, membuatku panik dan segera mencari tempat bersembunyi.

Berlari menuju dapur, aku semakin histeris saat pintu belakang pun terkunci. Suara itu mulai menuju ke arah tangga, segera meninggalkan dapur, aku menuju ruang membaca tidak jauh dari pintu menuju basement.

Mengunci pintu, aku segera meletakkan Millie dan menggunakan bangku kayu untuk mengganjal pintu. Menatap takut pada pintu, aku menyandarkan diri pada rak di belakang dan membiarkan tubuhku jatuh.

Menatap Millie yang masih belum sadar, tangisanku pecah. Aku memeluk kedua lutut dan berharap Rey segera datang membawa bantuan.

---

Author POV

"Ara ... Ara kenapa kau tidak menjawabku?" tanya Rey sedikit panik, dia mulai berjalan keluar Gereja.

"Kak Rey kak Nara kenapa?" Langkahnya terhenti saat mendengar pertanyaan Isaac.

Terdengar jeritan histeris Ara bersamaan dengan suara gedoran cukup keras membuat pemuda bermata cokelat itu semakin panik.

"Ara!" Panggil Rey. "Isaac, dengar, temui Pastore Adam dan bawa beliau untuk datang ke rumahmu, katakan aku yang meminta." Bocah itu terlihat bingung, gurat ketakutan mulai memenuhi matanya.

"Ada apa? Apa yang terjadi."

"Lakukan saja! Katakan ini urgent!" Rey berlari, berharap dia tidak terlambat.

"Rey ... Rey, mama ... aku tidak tau apa yang terjadi tapi Mama berusaha menyerangku."

Napas pemuda itu tercekat mendengar suara gemetar Ara, kecurigaannya benar, Nyonya Dirk kerasukan arwah Grace.

"Aku sedang menuju ke sana." Rey berharap kata-katanya dapat sedikit menenangkan Ara, dia memacu kakinya lebih cepat.

"Rey ... tadi kau mengatakan sesuatu tentang Darell, apakah dia menuju ke sini sendiri?" tanya Ara dengan suara kecil, seakan gadis itu berharap Rey akan menyangkal, mengatakan kalau Darell masih bersamanya.

Rey mengumpat pelan sebelum menjawab. "Iya, dia tadi mengatakan akan menyusulmu, aku yakin dia sudah hampir sampai." Telponnya mendadak terputus membuat pikiran Rey semakin liar. "Ara? Ara? Inara!" Pemuda itu berlari menuju rumah keluarga Dirk.

Rey segera mencoba membuka pintu begitu ia tiba di tempat, tapi mendapati keadaan terkunci. Pemuda itu memutar lewat pintu belakang dan menyadari hal yang sama. Matanya menangkap salah satu jendela dalam keadaan terbuka dan Rey tidak membuang waktu untuk memanjat ke dalam.

Matanya mengamati keadaan, tidak ada suara apapun di sini, Rey tidak tau harus merasa lega atau panik. Di mana Inara? dan Darell? apakah bocah itu sudah ada di dalam sini? apa mereka semua baik-baik saja?

"Ara?" panggil Rey dengan suara berbisik.

Dia berjalan pelan, mengamati setiap gerakan. Apakah dia sudah terlambat? Rey menggeleng, mencoba membuang pikiran konyolnya.

Melewati sebuah pintu, Rey mendengar suara tangisan halus. Pemuda itu mendekati ruangan tersebut dan menempelkan telinga pada pintu.

"Ara?" panggilnya lagi, setengah berbisik setengah berteriak.

Suara tangis berhenti sebentar, lalu terdengar suara benda yang di pindahkan sebelum pintu terbuka.

"Rey!" Ara memeluk pemuda itu, matanya terlihat memerah karena tangis. "Apa ... Apa kau melihat mama?" tanyanya ketakutan.

"Tidak, semua terlihat sepi saat aku masuk," Rey menjelaskan sebelum dia melihat tubuh Millie tergeletak terbungkus handuk.

Pemuda itu berlari mendekati gadis kecil itu dan menempelkan jarinya ke leher Millie, dia terlihat bernapas lega saat tanda kehidupan masih dapat ia rasakan dari Millie. "Apa yang terjadi, Ara?"

Inara tak menjawab, gadis itu seolah dalam keadaan shock. Mendadak matanya membulat saat menyadari sesuatu.

"Darell? Rey ... di mana Darell?"

Bersamaan dengan pertanyaan itu, sebuah hantaman terdengar dari lantai atas.

Rumah Angker Keluarga DewittTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang