Isaac dan Darell
Tidak terlalu sulit dilihat kalau Darrell berusaha menghindariku sejak kejadian tadi. Seperti sekarang, saat kami makan malam bersama, dia terus berusaha agar mata kami tidak bertemu.
"Darrell kau tidak keberatan bantuin Ara setelah makan?" tanyaku, terlihat ekspresi terkejut mama dari sudut mata. Aku memperhatikan reaksi Darrell, bocah itu tidak menunjukkan ekspresi apapun.
"Entahlah, aku sudah berjanji akan membantu Issac mengedit videonya." Tak diragukan kalau Darrell hanya mencari alasan agar tak perlu berbicara denganku.
"Ayolah sebentar saja."
Darrell membuka mulutnya namun berhenti saat melihat ekspresi wajah mama. Dia menghela napas sebelum mengangguk pelan.
"Bagus, datang ke kamar Ara setelah Millie tidur." Darrell terlihat sedikit tegang dengan permintaan tersebut, tetapi dia cukup baik menutupinya.
"Ya, ya terserah." Dia beranjak dari kursi dan membereskan piringnya.
"Hei ... aku belum selesai," protes Issac saat Darrell mengangkat piring miliknya.
Darrell tidak menghiraukan dan terus membawa sisa makanan mereka. Issac mengikuti saudara kembarnya itu sambil merutuk pelan. Aku menatap mama saat dia memegang tanganku.
"Terimakasih," bisiknya.
"Huh?"
"Terimakasih sudah mencoba untuk dekat dengannya." Ah ... andai mama tau alasanku berbicara dengan Darrell. Namun setelah kupikir, ada baiknya mama mengira demikian.
"Hmm ... walau bagaimanapun, mereka setengah adik Ara." Mama terlihat begitu terkejut dengan respon ku, matanya terlihat berkaca-kaca seolah akan menangis. "Ara sudah selesai."
Aku tak membuang waktu dan langsung ke kamar, memastikan kalau jendela sudah benar-benar tertutup, aku lalu mengecek handphone dan mendapati 15 misscall dari ayah. Terlihat dua pesan masuk dari ayah yang segera kubuka.
'Angkat teleponnya.'
'Tolong telepon balik kalau Ara sudah tenang, love you.'
Aku segera mengetik SMS balasan. 'Maaf ayah, Ara baru selesai makan malam. Tapi, boleh kita bicara besok saja? Ara capek.'
Hanya berselang beberapa detik sebelum pesan baru masuk. 'Oke, selamat tidur.' balas ayah singkat.
Aku meletakkan handphon ke atas meja di sisi tempat tidur, dan memutuskan mencari Darrell yang tampaknya sengaja menunda untuk menemuiku.
Aku mengetuk dua kali sebelum membuka pintu kamar mereka. Darrell dan Issac yang sedang asik melihat sesuatu dari laptop memandang kaget ke arahku.
"Iya, Kak Nara?"
Aku tidak menanggapi pertanyaan Issac dan memfokuskan pandanganku pada Darrell. "Bisa ikut Ara sebentar?" Darrell tak menjawab, sebelah alisnya terangkat seolah menungguku meneruskan. Aku benar-benar kesal dengan sikap arogan anak ini, tapi kuusahakan untuk tetap bersabar. "Tolong." Kutambahkan.
"Kami sedang mengerjakan sesuatu," jawabnya singkat sebelum kembali mengetik sesuatu pada laptop.
"Sebentar saja Darrell." Aku menekankan kata-kataku, tidak meninggalkan ruang untuk dia protes.
"Memangnya ada apa? Apa tidak bisa ditunda besok?" Apa anak ini benar-benar serius?
"Mari kita mulai dengan alasan kenapa kau berbohong tadi." Aku berkacak pinggang, menunggu Darrell menjawab pertanyaan tersebut. Dari sudut mata, terlihat wajah bingung Issac yang menatap bergantian padaku dan Darrell.
"Berbohong tentang apa?" Saat ini aku ingin sekali memukul bocah laki-laki yang berlagak polos di hadapanku ini.
"Kau tau apa yang Ara maksud. Dan jangan berpikir untuk mengarang cerita, kamu tau apa yang sebenarnya terjadi sebelum Om Hendrik pulang tadi."
"Memangnya apa yang terjadi? Aku melihat kak Nara panik dan kupikir Mama terluka, makanya aku membantu kak Nara mendobrak pintu kamar mandi da--"
"Apa kamu benar-benar ingin membuat seolah kamu sama sekali gak mendengar suara-suara itu?" Aku memotong kebohongan Darrell.
"Aku mendengar kak Nara menangis sambil berteriak." Dia menggeleng dan terkekeh. "Memangnya kak Nara mau aku mengatakan apa?"
"Kau-"
"Anak-anak?" Aku menghentikan pembicaraan dan menoleh ke arah Om Hendrik yang menatap khawatir pada kami bertiga. "Semua baik-baik saja?"
Aku melempar tatapan pada Darrell, menyatakan kalau kami belum selesai, sebelum melangkah keluar tanpa sepatah kata.
Aku bisa mendengar suara pembicaraan antara Om Hendrik dengan anak-anaknya, Darrell mungkin membuat kebohongan baru tentang kenapa kami berseteru.
Saat aku memasuki kamar, Millie terlihat sudah tidur. Aku masih merasa emosi dan tidak akan melepaskan masalah ini. Aku harus tau, kenapa Darrell mengarang cerita tentang kejadian tadi sore? Apa yang sebenarnya dia sembunyikan?
Pikiranku teralih oleh suara ding dari handphon yang menandakan sebuah pesan masuk. Segera saja kubuka isinya tanpa melihat kontak pengirim, berpikir kalau ayah mengirimiku pesan lagi.
'Tidak perlu membahas soal tadi lagi, aku tidak akan kembali ke tempat itu hanya karena kak Nara tidak bisa menahan rasa penasaran.'
Aku mematung, menatap bingung pada layar ponsel. Tidak mengerti apa yang dimaksud Darrell.
'Apa maksudmu?' balasku. Aku menunggu beberapa detik sebelum balasan dari Darrell masuk.
'Tidak ada, aku mau tidur.'
Bocah itu mengetahui sesuatu, dan aku tidak akan berhenti sebelum dia mengatakan yang sebenarnya padaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Angker Keluarga Dewitt
HorrorInara Cornellia Gerritt, seorang gadis lima belas tahun. Sejak perceraian kedua orang tuanya, Ara tinggal berdua dengan sang ayah. Hubungan Ara dan ibunya tidak terlalu baik, karena perasaan cemburu terhadap anak-anak dari pernikahan baru sang ibu...