Seperti matanya

1.6K 117 1
                                    

^Picture of Inara

Mungkin karena perasaan yang sedang tak karuan, makan malamnya terasa begitu hambar di lidah. Di sudut mata, aku bisa melihat Issac mencuri-curi pandang ke arahku, anak itu tidak pernah bisa menyembunyikan sesuatu.

"Ada apa?" tanyaku, saat merasa tak tahan dengan tatapannya yang begitu mengganggu. Matanya membulat saat menyadari pertanyaanku barusan ditujukan padanya, Issac menggeleng cepat sebelum melanjutkan makan tanpa sepatah kata.

"Nara? itu lengannya kenapa?" mama bertanya dengan nada khawatir, aku menatapnya bingung sebelum mataku beralih pada lengan kananku, di mana luka baret dan memar terlihat cukup jelas.

Tangan kiriku spontan menepuk bagian itu, berusaha menutupinya dari mama, walau aku tau itu percuma karena mama sudah lebih dulu melihatnya.

"Iya, kenapa? itu terlihat cukup parah," Om Hendrik menimpali. Aku menggeleng.

"Ara gak apa-apa kok, Ma, Om." Menatap bergantian pada keduanya, aku pun melanjutkan. "Tadi Ara jatuh di belakang, waktu menyiram tanaman." Kebohongan itu dengan ringan meninggalkan lisanku.

"Ya ampun, lain kali Nara hati-hati yah," ujar mama, di sampingnya, Om Hendrik mengangguk setuju.

Kami melanjutkan makan malam dengan tenang, mataku melirik ke arah Millie yang tengah serius menyendok sup jamur miliknya. Sebuah perban berwarna putih menutupi lukanya tadi, gadis itu seolah sudah lupa dengan kemalangan yang menimpanya beberapa jam lalu.

---

"Biar Ara aja," ucapku saat melihat mama mencuci piring. Aku segera mengambil sponge dari tangan mama dan mulai mencuci.

"Terimakasih," ucap mama pelan. Aku hanya tersenyum dan menganggukkan kepala.

Aku bisa merasakan tatapan mama yang masih terus mengamatiku dari samping. Melirik ke arahnya, aku melihat mama menatapku dengan pandangan yang membuatku tidak nyaman.

"Ada apa, Ma?" tanyaku, mama tidak menjawab dan hanya terus menatapku serius.

Bisa kurasakan jantung berdegup dua kali lebih cepat. Mama akhirnya tersenyum, mengulurkan tangan dan menusap rambutku pelan. Dia menatapku lembut dan berbisik.

"Kau memiliki matanya ... betul-betul indah."

Aku mematung, menatap mama yang terus mengusap rambutku dengan senyuman yang tak biasa, dia terlihat seperti sedang tidak sadar.

"Ma?" Suaraku sedikit bergetar.

"Betul-betul seperti dia," bisiknya lagi sebelum berlalu pergi. Apa maksudnya ayah? Aku memang memiliki mata abu-abu seperti ayah, dan orang-orang sering memuji mataku selama ini. Tapi cara mama mengucapkannya terasa aneh.

Tak ingin mengambil pusing, aku segera melanjutkan mencuci, tak sabar untuk kembali ke kamar dan beristirahat sebelum bertemu dengan Rey besok.

---

January 7, 1753

Netra abu-abu itu menatapi deretan bintang yang berkelap-kelip, malam ini begitu cerah, bahkan rembulan terlihat begitu terang. Hawa dingin seolah tak dirasakan oleh gadis jelita itu, entah sudah berapa lama dia menghabiskan waktu di balkon, jauh dari gemerlap pesta yang sedang berlangsung di bawah.

"Indah sekali, bukan?" Sebuah suara membuyarkan lamunannya, membuat Grace membalikkan badan, mendapati pria berambut cokelat kemerahan, sepasang mata hijaunya beradu dengan netra abu milik Grace.

"Tuan Dirk," Grace menyapa, mencoba terlihat tenang di hadapan pria asing itu. "Apa yang anda lakukan di sini sedang pestanya berada di bawah." Dia tersenyum.

"Arthur, kau bisa memanggilku Arthur. Dan aku bisa menanyakan hal yang sama."

Grace membalikkan badan, berharap lelaki bermata hijau itu tak melihat wajahnya yang memerah.

"Aku tidak suka keramaian." Matanya kembali mengarah pada deretan bintang-bintang. "Aku suka berada di sini saat malam."

"Hmm ... aku tidak bisa menyalahkanmu." Arthur menangkap senyuman di wajah gadis di sebelahnya itu.

"Tapi ... sepertinya aku harus segera kembali sebelum orang-orang menyadari kealpaanku." Tawa Grace.

"Ah ... kupikir itu memang yang terbaik." Arthur mengulurkan legannya, Grace menatap beberapa saat sebelum melingkarkan tangannya pada lengan kekar pria tersebut.

Semua mata seolah tertuju pada mereka saat keduanya menuruni tangga spiral menuju aula pesta. Grace tanpa sadar mengencangkan genggamannya pada Arthur, membuat pria bertubuh tegap itu mengusap punggung tangannya. Terlihat beberapa tamu yang berbisik di antara mereka.

Manik abu itu mengedar ke antara para tamu, hingga ia terhenti pada seorang wanita yang berdiri di dekat perapian. Wanita itu terlihat anggun dengan gaun berwarna navy, beberapa perhiasan mewah terlihat menghiasi tubuhnya. Grace seakan tak mampu mengalihkan pandangannya pada wanita tersebut.

"Siapa itu?" pertanyaan itu secara tak sadar ia lontarkan.

Arthur mengikuti pandangan Grace sebelum tersenyum dan menjawab.

"Oh, wanita itu? dia adalah Nona Katherina." Grace menghentikan langkahnya, menatap Arthur dengan mata membulat.

"De Vries? Katherina De Vries?" tanyanya tak percaya.

"Satu-satunya," jawab Arthur setengah bercanda.

Grace kembali menatap ke arah Katherina.

"Ah ... orang-orang tidak berbohong tentang kecantikannya," gumamnya.

"Hmhm ... tapi aku mengenal gadis yang bahkan melebihi kecantikan seorang Katherina." Grace menoleh ke arah Arthur yang sudah terlebih dahulu menatapnya, wajah polosnya dipenuhi rasa penasaran.

"Itu mustahil."

"Oh ya? tapi aku sedang melihatnya sekarang." Wajah putihnya sontak memerah.

---

"Menjauh dariku, Millie," gumamku saat merasakan rambut panjang Millie menutupi mukaku. Tanganku mengibas sembarang, masih terlalu mengantuk untuk membuka mata.

Selang berapa detik, rambutnya kembali menutupi wajah, membuatku menggerutu dan kembali mengibasnya. Aku membalikkan badan, berharap bisa melanjutkan tidur dengan tenang. Namun rambut itu kembali menggelitik wajahku.

"Millie apaan sih! jauh sedikit napa?" Aku kembali akan mengibas saat sebuah tangan menggenggam kuat tanganku, bersamaan dengan suara parau seorang wanita membentakkan kata "Leave!"

Aku melonjak, tangan yang memegangiku mendadak hilang bersama dengan rasa kantuk. Napasku tersengal manakala aku menatap tiap sudut kamar, tidak ada siapa pun di sini. Tak mempedulikan tubuh yang masih gemetar, aku segera berlari turun.

Terlihat semua orang sedang menyantap sarapan. Mama melihatku dan tersenyum.

"Dari tadi mama berusaha bangunin Nara." Tawanya. "Ayo duduk sini, biar mama siapin sarapan."

"Siapa yang tadi di kamar Ara barusan?" tanyaku memotong pembicaraan mama.

"Tidak ada yang ke sana sejak tadi," Om Hendrik menjawab.

"Tapi, tapi tadi ada orang di sana."

Mama berdecak. "Paling Nara cuma mimpi, sekarang cuci muka terus sarapan."

Aku membuka mulut, tapi terdiam saat melihat wajah Darrell, dia menggelengkan kepala padaku. Suara ketukan pintu mengalihkan perhatianku. Siapa yang ke sini pagi-pagi begini.

"Nara bisa tolong liat siapa yang datang?" pinta mama, aku tak menjawab dan langsung menuju pintu.

Saat pintu terbuka, aku disapa oleh Rey yang terlihat rapi. Dia tersenyum ke arahku.

Meyadari penampilanku sekarang, aku menjerit dalam hati.

Siapa pun bunuh saja aku.

---

A/N: Terimakasi buat semua yang baca cerita ini dari awal, maaf banget updatenya super slow, tapi diusahakan selesai secepat mungkin <3

Rumah Angker Keluarga DewittTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang