Bayangan

3.2K 144 3
                                    

"Oke, sepertinya sudah semua." Om Hendrik meletakkan ember kecil untuk menadah air hujan yang masuk melalui atap yang bocor. Aku mendengkus kesal, menatap penuh sesal pada deretan ember yang di tempatkan di beberapa bagian rumah. Mimpi apa aku sampai harus berada dalam keadaan seperti ini.

Kami baru saja memasuki rumah saat hujan tiba-tiba turun dengan begitu deras, padahal langit sama sekali tidak mendung sebelumnya. Dan yang membuat liburan ini makin sempurna, ternyata rumah tua milik om Hendrik mengalami kebocoran di mana-mana, sehingga aliran listrik terpaksa dimatikan untuk sementara, membuat kami terpaksa harus berdamai dengan kegelapan.

"...Menurut papa, benda ini berusia lebih dari dua ratus tahun." Aku mengalihkan pandangan pada Issac yang sibuk merekam keadaan rumah. Dia terlihat menyorotkan alat perekam itu pada pajangan tua di atas perapian, sebelum berpindah ke benda asing lain, menjelaskan tiap objek yang dilalui kamera seolah sedang membawakan siaran TV. Setelah selesai, Issac berbalik dan mengarahkan kamera bodohnya padaku. "Ah ... itu Kak Nara," ucapnya, sebelum melanjutkan dengan suara yang jauh lebih pelan, "dia selalu marah-marah dan cemberut, membuatnya jauh lebih menyeramkan daripada setan."

"Apa katamu?" bentakku, bocah sial itu tertawa sebelum berlari menyelamatkan diri.

"Sebaiknya kita beristirahat," ucap mama yang memasuki ruang tengah, "untungnya keadaan kamar gak separah ruang lain," lanjutnya lagi.

"Akhirnya," gumamku, "jadi kamar Ara di mana?"

"Sebelah kanan dari tangga, pintu ke dua," jelas mama singkat, aku memutar bola mata dan beranjak naik sebelum mama menghentikan, "oh iya, Nara, kamu tidak keberatan berbagi kamar dengan Millie bukan?"

Aku memutar badan, menatap mama tak percaya. "Yang bener aja dong, Ma!" teriakku.

"Maaf, Sayang, tapi rumah ini cuma ada tiga kamar, jadi kita semua harus berbagi." Mama menunjukkan wajah menyesal, tapi itu justru membuatku makin emosi.

"Bodo amat, awas aja kalo tu bocah gangguin Ara." Aku segera menaiki tangga dengan emosi.

"Kamu itu kapan mau mengalah sama adik-adikmu?" Terdengar keluhan mama di bawah tapi aku tak menanggapinya.

Mataku mendelik mendapati kamar yang akan kutempati selama tiga minggu ke depan. Ruangan ini dipenuhi barang-barang tua berbahan kayu jati, sebuah lemari besar terletak di salah satu sisi kamar, tak jauh dari tempat tidur besar beralas kayu, dengan kasur busa berwarna merah maron yang terlihat masih baru. Sebuah jendela kaca berada di sisi lain, aku bergidik ngeri saat menyadari kalau jendela itu menghadap langsung ke arah rumah tua tadi.

Kakiku melangkah cepat, bermaksud menutup gorden berwarna hijau yang menggantung di sana. Tanganku terhenti saat baru saja memegang kain lembut tersebut, mataku memandang penasaran pada rumah tua yang berjarak sekitar 20 meter dariku itu. Hanya sebuah pagar kecil yang memisahkan lahan kami dengan lahan tersebut, bahkan perkarangan rumah itu juga terlihat tidak terawat. Rumput-rumput liar tampak subur meninggi dengan berantakan, bahkan beberapa terlihat menjalar di sisi-sisi rumah.

Pandanganku merambat ke bagian sisi rumah, pada jendela yang menghadap tepat ke arahku. bingkai kayu jendela itu sudah patah dan kacanya pun terlihat pecah, menyisahkan satu pecahan besar yang lancip, menggantung di antara puing jendela. Seolah angin paling lembut pun bisa menjatuhkannya. Sekelebat bayangan putih terlihat melintas melalui jendela, membuatku terkesiap dan melangkah mundur.

"Mengerikan bukan?" Aku sontak berbalik saat mendengar seorang berucap di belakangku.

"Astaga, Darell," jeritku, tangan kanan secara spontan memegangi dada, bisa dirasakan jantungku yang berdegup hebat.

Bocah itu hanya menatap datar padaku, kedua lengan menyilang di depan, sedang tubuhnya menyandar begitu kasual pada pintu kamar. Dia mengisyaratkan mata pada kedua koper yang terletak di dekat kakinya. "Mama memintaku membawakan barang-barangmu."

Aku masih sibuk mengatur napas, mengangguk tapi tidak mengucap terimakasih. "Kamu boleh pergi."

Darell terkekeh. "Jangan lupa menutupnya." Dia mengisyaratkan ke arah jendela, yang tirainya masih belum ku tutupkan. Dia berjalan keluar sebelum berhenti dan menoleh ke arahku. "Aku juga tidak menyukaimu," ucapnya singkat sebelum berlalu.

Kubanting pintu kuat-kuat. "Dasar bocah bodoh!" jeritku, "memangnya siapa yang peduli kalau kamu menyukaiku atau tidak." Aku masih menatap kesal pada pintu yang tertutup. "Aku tidak sabar ingin segera pulang dan meninggalkan kalian semua!" Aku berjalan ke arah jendela, namun langkahku terhenti saat menyadari kalau tirainya sudah tertutup rapat.

Aku betul-betul yakin belum menutupnya tadi.

Rumah Angker Keluarga DewittTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang