Grace Olivia Dewitt

2.2K 120 0
                                    

Aku mengerang saat seorang tiba-tiba membuka jendela kamar, menyebabkan cahaya menyilaukan menyerebak masuk dan memaksaku terbagung.

"Ma!" eluhku, segera berlindung di bawah selimut, berharap bisa kembali tidur. Tapi mama kembali menarik selimut, membuatku ingin berteriak karena frustrasi.

"Apa Nara gak lihat jam berapa sekarang? cepat bangun dan mandi," perintahnya.

"Apa gunanya berlibur kalau tetap harus bangun pagi," aku merengek, benar-benar tidak punya tenaga untuk bangun.

"Pagi?" Mama berdecak, menggeleng pelan sambil menatap ke arahku. "Sekarang sudah hampir pukul sepuluh, pokoknya mama ga mau tau, Nara ga boleh cuma menghabiskan waktu di kamar." Mama meninggalkanku yang terus mengadu.

Tidak ingin mendengar ocehan mama lagi, aku akhirnya memutuskan untuk bangun. Merenggangkan tubuh, aku melangkah ke arah jendela dan menghirup udara segar di luar. Sartu-satunya nilai plus dari tempat ini hanyalah keadaan alam yang masih begitu terjaga, membuat udaranya begitu menyegarkan tak seperti di kota-kota besar. Kalau saja cuaca di sini bisa sedikit lebih hangat, pasti akan lebih menyenangkan.

Napasku mendadak terhenti saat mataku menangkap sosok gadis muda dari rumah tua itu. Gadis itu mengenakan gaun berwarna cokelat khas pakaian bangsawan Eropa dari abad ke sembilan belas, Rambut cokelat keemasan ditata sedemikian rupa, menonjolkan wajah manis ala gadis Belanda. Gadis itu berdiri di jendela yang menghadap langsung ke arahku, jari telunjuk memelintir rambut ikalnya dengan lembut. Mata abu-abu itu menerawang sebelum ia berhenti saat melihatku.

Jantungku berdebar saat gadis itu tersenyum sebelum memudar dan menghilang seolah dia tak pernah ada di sana. Kakiku mendadak lemas, hingga tubuhku terjatuh. Masih terasa debaran jantung yang terasa jauh lebih cepat dari biasanya. Aku diam di situ selama beberapa saat, mencoba mengumpulkan sisa-sisa tenaga.

Saat napasku mulai normal dan tubuhku sudah tidak terlalu gemetar, aku beranjak dan berniat hendak keluar. Namun terhenti saat mendapati Darrell bersandar di pintu kamarku yang tertutup. tangan kirinya tersembunyi di dalam saku jeans abu-abu yang dia kenakan, Darrell menatapku beberapa saat sebelum tangan kanannya meraih kebelakang dan memutar kunci, memastikan tak akan ada yang menginterupsi.

Aku memperhatikan ketika dia menuju tempat tidur sebelum duduk dan mengistirahatkan kedua siku ke atas lututnya. "Iya, aku mendengar suara-suara aneh itu." Dia memulai, kedua mata hijaunya menatap tajam ke arahku. "Dan aku juga melihat beberapa orang di rumah tua itu." Darrell mengisyaratkan ke arah jendela.

Aku menatapnya tak percaya. "Lalu? kenapa kau berbohong?" tanyaku kesal.

Alisnya mengerut seolah dia sedang berfikir, sebelum tawa kecil terlepas darinya. "Terakhir aku bicara jujur ayah mengirimku ke psikiater." Matanya kembali menatapku, sesuatu di balik tatapannya membuatku bergidik. "Waktu itu umurku baru enam tahun. Kak Nara tau apa yang harus kujalani?" Aku tak bisa menjawab, begitu banyak emosi yang terpancar di matanya.

Darrell menggelengkan kepala, menawarkan senyum sebelum berdiri. "Aku tidak mendengar apapun." Dia membuka pintu dan menoleh ke arahku. "Dan begitupun kak Nara." Dan dia keluar. Meninggalkanku dalam kebingungan.

Tunggu? apa itu artinya Darrell pernah ke sini sebelumnya?

---

Menatap bangunan di hadapanku, perasaan ragu mulai menyerang. Terakhir menginjakkan kaki ke dalam gereja mungkin saat usiaku baru empat tahun, setelah itu, sejak nenek meninggal, aku sama sekali tak pernah kembali, ayah pun tak pernah membawaku lagi.

Aku menghela napas dan memutuskan untuk pulang saja.

"Ara?" Sebuah suara membuatku menoleh dan mendapati Rey melangkah keluar dari gereja. "Kau tidak ingin masuk?" tanyanya.

Rumah Angker Keluarga DewittTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang