Part 21: Sekali Saja

1.1K 84 6
                                    

April 16, 1754

Grace menatap kosong pada mangkuk sup di hadapannya, sesekali ia akan menyendok cairan putih kental itu. Namun tak pernah menyuapkan sedikitpun ke mulut.

Berbagai percakapan saling bertukar di antara mereka. Namun Grace tidak terlalu terfokus pada obrolan yang sedang berlangsung di sekitarnya.

"Aku tidak melihat pelayan yang biasa bersamamu." Suara Stephen menarik perhatian Grace, dia ikut menatap Tuan Arthur, menunggu jawabannya.

"Siapa yang kau maksud?" tanya Arthur penasaran.

"Tristan, kupikir itu namanya."

Arthur tampak berpikir sejenak, sebelum terlihat seolah menyadari sesuatu.

"Oh ... anak itu," gumamnya, menyesap anggur merah sebelum melanjutkan. "Aku membiarkannya bebas setiap malam, aku tidak akan heran kalau dia menghabiskan waktu di Black Door, di sana biasanya para budak bersenang-senang." Arthur terkekeh. "Apa yang kau perlukan darinya?"

Stephen menggeleng. "Tidak, aku hanya ingin berterimakasih padanya secara langsung, karena telah membantu Olivia waktu itu," jawab Stephen.

"Tidak perlu dipikirkan." Arthur mengalihkan pandangannya pada Grace. "Lagipula tidak lama lagi Grace akan menjadi nyonya di rumahku, maka keselamatannya juga menjadi tanggung jawabnya juga."

Obrolan beralih tentang rencana pesta pertunangan keduanya. Grace merasa semakin tidak nyaman semakin banyak dia mendengar.

"Aku sudah selesai, bolehkah aku kembali ke kamar?" tanyanya.

Grace bisa menangkap tatapan tajam ayahnya di ujung meja, jika bukan karena Tuan Arthur ada di sini, Grace pasti sudah dimarahi karena sikap tidak sopannya. Namun kali ini, gadis itu tidak peduli, dia hanya ingin lari dari semua ini. Setidaknya untuk sekarang.

"Apa kau baik-baik saja? kau terlihat pucat," tanya Issobel.

"Aku merasa tidak enak badan," jawab Grace seadanya.

"Tentu, pergilah ke kamarmu." Stephen menatap istrinya. "Kau tidak keberatan menemaninya bukan?" Issobel tidak menjawab, hanya tersenyum dan meraih tangan Grace.

---

April 27, 1754

Grace mendekati pintu kamar, memastikan untuk terakhir kali kalau dia sudah menguncinya, sebelum merapatkan mantel hitam yang ia gunakan. Gadis itu membuka jendela perlahan, khawatir akan ada yang mendengar.

Dengan perlahan, dia menuruni dinding kamar. Jantungnya berdebar hebat, karena rasa takut dan beberapa perasaan lain yang sulit ia gambarkan. Begitu tiba di bawah, Grace tak lagi membuang waktu, dia mengendap ke luar.

Keadaan jalan tampak begitu sepi dan gelap. Gadis itu mulai meragukan keputusannya, tapi dia sudah tidak bisa menunggu lagi. Dua Minggu sudah terlalu lama baginya.

Grace memastikan hoody yang ia kenakan, cukup menutupi wajahnya saat menghampiri bangunan lapuk tak jauh dari gereja St Antonio. Dia segera mengetuk pintu tua yang seolah akan roboh kapan saja.

"Siapa di luar?" Sebuah suara kasar memanggil.

"Maaf Tuan, saya hendak menyewa salah satu dari kuda Anda," jelas Grace.

"Semalam ini? Kegilaan macam apa yang kau pikirkan." Pintu terbuka, seorang pria dengan perut buncit menatap sinis pada Grace.

Gadis itu merasa sedikit takut, tapi dia memasang wajah berani.

Rumah Angker Keluarga DewittTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang