Mataku tak beralih dari jajaran rerumputan hijau yang membentang dari balik kaca jendela mobil yang membawaku ke tempat memuakkan jauh dari perkotaan ini. Semua karena ayah. Seharusnya dia membiarkanku tinggal saja di rumah, tapi ayah malah bersikeras menyuruhku ikut dengan Mama pergi berlibur bersama suami dan anak-anaknya.
---
"Ara gak mau, Yah," rengekku, "lagipula Ara udah gede, bisa jaga diri sendiri, biasanya juga Ara tinggal sendiri kalau ayah harus ngurus proyek ke luar kota." Aku meyakinkan, tapi dari ekspresinya, jelas sekali ayah tidak percaya.
"Tetap saja ayah khawatir, biasanya ayah cuma pergi satu-dua hari, tapi kali ini ayah harus pergi selama tiga minggu, gimana ayah bisa kerja dengan tenang kalau harus ninggalin Ara sendirian di rumah." Aku mengerang mendengar alasan ayah.
"Kan ada bik Sum, Yah."
Ayah menggeleng. "Tetap saja, lagi pula, sudah hampir tiga tahun ara gak mengunjungi mama, memangnya Ara gak kangen sama mama dan adik-adik?"
"Gak!" ketusku, "dan mereka bukan adik-adik Ara." Aku pergi meninggalkan ayah, memastikan kakiku menghempas cukup keras di tiap langkahnya.
Bisa didengar suara langkah kaki ayah mengikuti. "Semua sudah diatur, besok Mama bakal jemput Ara ke sini sebelum ayah harus pergi ke airport." Aku membalikkan badan dan menatap ayah dengan tatapan penuh pengkhianatan.
"Ayah kok mutusin semuanya tanpa bilang dulu ke Ara! ini tu gak adil!" Aku masuk ke kamar dan membanting pintu dengan keras, menguncinya sebelum menyalakan musik dengan keras. Tidak mengidahkan suara ketukan ayah dari balik pintu.
Kalau aku harus dipaksa melakukan sesuatu yang kubenci, setidaknya aku akan membuat ayah merasakan kekesalan yang kurasakan.
---
Hari baru menginjak pukul 4.30 pagi saat ayah membangunkanku, bahkan matahari saja belum menampakkan diri tapi mama sudah siap menjemputku. Menurutnya, jika kami berangkat pagi-pagi sekali, maka kami bisa menghindari kemacetan. Aku benar-benar tidak suka semua ini.
"Itu saja yang mau dibawa?" tanya om Hendrik, suami mama, menunjuk dua koper di dekatku saat aku turun satu jam kemudian.
"Iya," jawabku singkat.
Ayah berjalan mendekat, memelukku erat dan membisikkan ke telinga. "Baik-baik di sana, ayah akan langsung telpon begitu pesawat ayah mendarat."
"Ayah langsung pergi sekarang?" tanyaku sedih.
"Belum, nanti jam 8 ayah baru berangkan ke airport, pesawat ayah baru berangkat pukul 11.30."
Aku menghela napas, kenapa aku tidak bisa ikut ayah saja? jalan-jalan ke luar negri berdua dengan ayah, pasti jauh lebih menyenangkan daripada mengunjungi rumah pegunungan di kota kecil sekelas Greenwood.
"Mukanya jangan cemberut gitu." Aku berdesis saat ayah mencubit pipiku.
"Ih ayah apaan sih." Aku kembali memeluknya, sebelum akhirnya kami keluar.
Om Hendrik sudah memasukkan koperku ke mobil. Mataku menyipit mendapati tiga monster yang ada di kursi belakang.
"Yah ... Ara beneran harus pergi?" Aku menatap ayah, berharap dia akan merasa iba dan membiarkanku tinggal.
"Inara Cornellia Gerritt, kita sudah membicarakan ini." Aku menutup mulut, tiap kali ayah menggunakan nama lengkap maka tandanya dia sangat serius.
"Semua baik-baik saja? kita bisa pergi sekarang?" Mama memanggil dari belakang.
Aku menarik napas, menatap ayah sekali lagi, berharap mataku menunjukkan betapa aku tidak mau pergi bersama mereka.
---
Itu semua terjadi empat jam yang lalu. Seluruh tubuhku sudah terasa begitu kaku berada di mobil selama berjam-jam, tapi tampaknya kami masih jauh dari tujuan. Ketiga monster di dekatku sudah tidur sejak tadi, setelah mereka puas berkelahi tanpa henti.
"Kalau kamu capek tidur saja dulu, nanti mama bangunkan kalau kita sudah sampai." Mataku beralih dari jendela dan menatap mama sekilas.
"Ara ga suka tidur di mobil," jawabku sedikit ketus. Mama harusnya berhenti berbasa-basi, sejak tadi aku sudah tunjukkan keenggananku mengobrol dengannya.
"Ya sudah, nanti begitu sampai kamu bisa istirahat." Kali ini om Hendrik yang bicara. Aku bisa melihatnya tersenyum melalui kaca spion depan. "Sedikit lagi sampai," lanjutnya.
Itu tidak benar, kami baru tiba di tujuan sekitar dua jam kemudian. Aku segera keluar dan merenggangkan otot-otot yang kaku. Di belakang, Millie melangkah keluar dari mobil dengan boneka kelinci birunya yang sedari tadi tak pernah dia lepaskan. Matanya masih terlihat tidak fokus karena baru bangun tidur. Setelahnya, Issac dan Darrel juga menyusul keluar.
"Wow, apa rumah ini berhantu?" tanyanya antusias, bocah sepuluh tahun itu seolah mendapat harta karun saat melihat bangunan kayu besar, yang mungkin lebih tua daripada usia kami berenam digabungkan. Dia mengarahkan kamera kesayangannya ke sekeliling area. "Tempat ini luar biasa, kita bisa berburu hantu di sini, Darrel." Lanjutnya dengan antusiasme yang sama. Namun saudara kembarnya hanya menatap bosan sambil menyandarkan tubuh di sisi mobil.
"Tidak ada yang namanya hantu," cetus mama, "mama sudah bilang jangan terlalu banyak menonton siaran tidak bermanfaat." Issac tampak tak menghiraukan mama dan terus mengarahkan kameranya ke tiap sudut.
Mataku melirik ke arah rumah di sebelah kami. Bangunannya tampak jauh lebih tua daripada rumah kami- kalau itu memungkinkan. Bangunannya juga tampak begitu tak terawat. Netraku menyelidik ke beberapa sudut rumah yang tampak sudah mulai mengalami kerusakan, kaca jendelanya pun tampak pecah di beberapa sisi rumah. Namun sesuatu di lantai dua membuat napasku tercekat. Wajah pucat anak perempuan menatapku dari balik jendela dengan mata hitamnya.
"... Ra ... Inara, hei." Aku terkesiap, mendapati Om Hendrik di depanku, dengan tangan kanan melambai-lambai ke wajah. "Kami memanggilmu dari tadi." Dia tertawa.
"Oh ...." Mataku kembali melihat jendela tadi, namun gadis kecil itu sudah tidak ada. Apa aku hanya membayangkannya saja?
"Ayo." Kudengar suara om Hendrik mengajak, sebelum dia beranjak masuk ke rumah.
Aku kembali memperhatikan rumah itu, tentu saja semua hanya imajinasiku. Memangnya siapa yang mungkin tinggal di tempat setua itu? Rumahnya terlihat seperti akan roboh hanya dengan tiupan angin. Aku menggeleng lalu tersenyum geli, pasti karna kelelahan, batinku, sebelum memutuskan menyusul ke dalam rumah untuk beristirahat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Angker Keluarga Dewitt
HorrorInara Cornellia Gerritt, seorang gadis lima belas tahun. Sejak perceraian kedua orang tuanya, Ara tinggal berdua dengan sang ayah. Hubungan Ara dan ibunya tidak terlalu baik, karena perasaan cemburu terhadap anak-anak dari pernikahan baru sang ibu...