Arsip Kota

1.5K 106 4
                                    

Saat terbangun pagi ini, aku menyadari matahari sudah terang dan Millie sudah tidak ada di kamar bersamaku. Merenggangkan tubuh, aku berjalan malas ke kamar mandi dengan mata masih setengah tertutup. Saat melepas piyama, aku mematung saat menangkap bayanganku pada cermin.

Pada lengan kanan bagian atas terlihat memar--yang setelah ku perhatikan-- berbentuk seperti jari orang dewasa. Seolah seorang meremas lenganku dengan keras. Aku berjalan mendekat dan menyadari kalau memar yang sama juga ada pada lengan kiriku. Apa yang terjadi? aku tidak ingat kejadian apapun yang mungkin dapat menyebabkan memar ini.

Aku segera mandi untuk mengalihkan pikiran. Dua minggu lagi, dan aku akan terbebas dari tempat terkutuk ini, pikiran itu satu-satunya yang membuatku bertahan.

Aku baru saja selesai berpakaian dan sedang mengeringkan rambut dengan handuk saat seorang mengetuk pintu kamar.

"Iya?" panggilku sambil mengusap-usap rambut dengan handuk yang sudah setengah basah.

"Kak Nara ada orang di bawah," terdengar suara Issac berteriak. Tanganku berhenti, segera ku lihat jam yang masih menunjukkan pukul sembilan pagi.

"Siapa yang datang pagi-pagi begini," gumamku, "Ara segera turun," panggilku sebelum buru-buru menyisir rambut. Aku setengah berlari saat menuruni tangga dan berhenti saat mendapati Rey yang terlihat asik mengobrol dengan Issac yang memandangi pemuda itu dengan penuh kekaguman.

"Apa kakak pernah masuk ke sana?" Aku diam di tempatku dan mendengarkan obrolan mereka.

Rey terlihat mengangguk, dia berjongkok hingga sejajar dengan Issac. "Aku bisa membawamu ke sana kalau kau mau." Mendengar ucapan Rey itu, kedua mata Issac sontak membulat, dia menatap Rey seolah pemuda itu merupakan idolanya.

"Benarkah? benarkah? kau benar-benar akan membawaku? Ini bukan prank?" Rey tertawa mendengar deretan pertanyaan Isaac, dari ekspresinya, terlihat sekali kalau bocah itu berusaha begitu keras agar tidak melompat-lompat karena semangat. Tingkahnya tanpa sadar membuatku tersenyum.

"Tentu saja, kalau orang tuamu tidak keberatan, aku akan dengan senang hati mengajakmu, kita bisa melihat koleksi barang-barang bersejarah di sana." Kalau dia membuka lebih lebar lagi, aku hampir yakin kedua mata Issac akan melompat ke luar.

"Ehem," aku mendehem pelan, membuat mereka menyadari keberadaanku.

"Kak Nara, Kak Reivan bilang dia akan mengajak kita ke ruang rahasia di Gereja St Antonio!" Issac berlari ke arahku, meneriakkan kabar baiknya. Menggenggam tanganku sambil sedikit melompat. "Kak Nara tau kan? itu ruangan yang ada di sebelah timur gereja, yang pintunya selalu tertutup," jelasnya bersemangat.

Aku tak bisa menahan senyum yang keluar melihat wajah polosnya yang begitu ceria, sebelum mengalihkan perhatianku pada Rey yang sudah kembali berdiri dan membetulkan posisi ransel hitam yang menggantung di bahu kanannya.

"Hei ... emm ... maaf sudah membuatmu menunggu lama," kataku, Rey hanya tersenyum.

"Tidak apa-apa, Issac dan Darrell menemaniku tadi." Mataku melirik bocah yang duduk bosan di sofa tak jauh dari Rey, aku bahkan tak sadar kalau Darrell ada di sini. Matanya terlihat fokus pada smartphone di tangan.

Seolah menyadari tatapanku, Darrell mengangkat wajahnya dan menaikkan alis seakan bertanya "apa maumu?" Aku hanya memutar bola mata dan kembali fokus pada Rey.

"Oh, baguslah," responku seadanya. "Ayo ikut Ara," ajakku kemudian.

Aku mengarahkan Rey ke kamar, dia tak membuang waktu dan duduk di atas tempat tidur dan segera meletakkan ransel yang ia bawa di dekat kakinya setelah mengeluarkan beberapa buku tua dari dalam ransel tersebut.

Rumah Angker Keluarga DewittTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang