Jurnal

1.8K 109 3
                                    

"Jadi? menurut kalian apa yang sebenarnya terjadi?" tanyaku memecah keheningan. Issac memutar-mutar kamera ditangannya pelan, sedang Darrell seperti biasanya, tak menunjukkan ketertarikan apapun.

Kami hanya tinggal bertiga di rumah karena mama dan Om Hendrik membawa Millie ke klinik untuk mengobati luka di kepalanya, dan melihat apakah ada luka dalam yang mungkin harus mendapat penanganan khusus.

"Millie memang selalu penasaran, mungkin dia meraih pajangan itu dan tanpa sengaja menjatuhkannya tepat mengenai kepala," jelas Darrell dengan nada monoton. Aku dan Issac menatapnya kesal.

"Tentu, Millie menjatuhkannya sejauh lebih dari tiga meter," jawabku sarkastik.

"Mungkin dia marah dan melemparnya?" dia beralasan, membuatku benar-benar ingin melempar sesuatu ke arahnya.

"Ayolah Darrell, kau tentu merasa ada hal aneh dengan rumah ini?" kali ini Issac yang berbicara. "Harus berapa kali kukatakan? rumah di sebelah kita itu berhantu!" lanjutnya dengan suara meninggi. Aku seolah hampir bisa melihat roda pikiran Darrell berputar di dalam kepalanya.

"Mungkin kita bisa menyelidiki rumah itu?" usulku cepat, membuat Darrell menatap tajam ke arahku. Di sebelahnya, Issac terlihat terkejut dengan mata membulat penuh semangat. "Mungkin kita bisa menemukan sesuatu, kau tau?" Aku menatap Issac dan melanjutkan. "Kita bisa melakukan pemburuan hantu selama di sana, seperti vlog-vlog yang sering kau lihat."

Aku mencoba mengabaikan Darrell yang terus berusaha membunuhku dengan matanya. Satu hal yang ku pelajari selama di sini, Darrell tidak pernah bisa menolak keinginan Issac, bocah ini selalu berusaha melakukan apapun untuk menyenangkan kembarannya itu. Maka, kalau aku berhasil mempengaruhi Issac, Darrell tidak akan punya pilihan selain mengikuti.

"Boleh kan, Darrell, ayolah." Aku ingin tertawa, melihat Darrell yang menatap saudaranya tak berdaya.

"Terlalu berbahaya." Darrell mengalihkan pandangannya padaku. "Rumah itu sudah ditinggalkan pemiliknya selama entah berapa dekade, bagaimana kalau bangunannya roboh saat kita berada di dalamnya." Jelas sekali usaha Darrell untuk menghindari tatapan memelas Issac, dia menolak melihat kembarannya yang terus menatapnya penuh harap.

"Tapi kita akan berhati-hati di sana," rengek Issac.

"Issac!" bentaknya membuat

Issac terdiam, bocah itu menunduk kecewa.

"Maaf," gumamnya. Aku memutar bola mata.

Jika ada hal lain yang kupelajari selama bersama mereka, adalah, betapa pun keras kepalanya Issac, dia tidak pernah sekalipun membantah Darrell. Satu kata atau bahkan sebuah tatapan dari Darrell, maka bocah itu segera melakukan apapun yang diperintahkan saudaranya.

Darrell mengerang, mengumpat pelan sebelum kembali menoleh kembarannya. "Kau berjanji tidak akan melakukan hal-hal aneh?" Issac menatap terkejut padanya, kepalanya segera mengangguk cepat.

"Iya, Darrell, aku janji," jawabnya antusias.

"Ambil jaketmu," perintah Darrell sebelum menoleh ke arahku, ekspresi lembutnya berubah saat mata kami beradu. "Mama sama ayah tidak perlu tau soal ini," ucapnya singkat sebelum beranjak menyusul Issac.

Aku hanya berharap, kami bisa menemukan sesuatu yang dapat menjawab semua misteri aneh di rumah ini.

---

Kedua pasang mata hijau itu menatap bangunan tua di hadapan kami, yang satu dengan tatapan takjub, sedang yang lainnya hanya menatap bosan seolah ingin segera pergi dari sini.

"Ayo cepat!" Issac baru saja hendak berlari masuk saat Darrell memegangi tangannya.

"Apa kataku tadi?" Issac tersenyum bersalah mendengar teguran Darrell.

Rumah Angker Keluarga DewittTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang