Tanganku spontan menyembunyikan semua buku di tangan ke bawah comforter saat seorang mengetuk pintu kamar, pintu terbuka dan mama tersenyum ke arahku dari luar.
"Nara sedang apa? seharian di kamar aja, tadi pagi juga gak ikut sarapan?" tanyanya lembut.
"Ga apa-apa, Ma, tadi temen Ara datang, dia baru juga pulang."
"Oh? Kok gak diajak makan siang di sini sekalian." Mama melangkah masuk sebelum duduk di dekatku di atas tempat tidur.
"Mungkin lain kali, tadi Rey sedikit buru-buru," jelasku, tak sepenuhnya berbohong.
"Hmm baiklah, jangan di kamar saja, sebentar lagi makan siang siap, Nara cepet turun." Netraku menatap jam yang sudah hampir mengarah ke pukul dua belas. Wow ... waktu memang cepat berlalu. Batinku.
"Iya, Ma."
Setelah mama menutup kembali pintu kamar, aku segera menyimpan jurnal Grace bersama buku milik Rey ke dalam lemari dan menguncinya. Berlari ke lantai bawah, aku mendapati Issac duduk sendirian di sofa ruang tamu sedang melihat rekaman dari kameranya.
"Hei, Issac." Dia menoleh ke arahku. "Kau tau di mana Darrell?" tanyaku.
"Dia di kamar," gerutunya, "dia mengusirku ke luar, katanya Darrell sedang tidak ingin diganggu," jelasnya, sebelum wajahnya terlihat lesu dan sedikit khawatir. "Apa aku sangat menyebalkan, Kak Nara?" tanyanya sedih.
Aku mengangkat sebelah alis, melihat bocah di depanku yang menanti sabar akan jawabanku. Wajahnya terlihat seolah dia memikul seluruh beban di dunia.
"Err ... tidak," kataku ragu, aku bisa melihat perasaan sedihnya sedikit berkurang dan wajahnya tampak penuh harap. "Kadang seorang cuma butuh waktu untuk sendiri dan kita harus menghormati itu." Kenapa aku berusaha menghibur anak ini? Permasalahannya dengan Darrell bukan urusanku.
Issac tampak mencerna perkataan ku sebelum mengangguk cepat.
"Itu artinya Darrell tidak sedang marah padaku? Dia akan bermain denganku lagi, kan?" tanyanya penuh harap.
"Tentu saja, aku yakin dia hanya butuh waktu untuk berpikir," ucapku sekenanya. "Lagi pula, kalian saudara, kalian terjebak dengan satu sama lain." Aku memutar bola mata dan berlalu meninggalkan Issac dan bergegas menuju ke kamar yang ia tempati bersama Darrell, tanganku mengetuk pelan dan menunggu jawaban.
"Kubilang tinggalkan aku sendiri, Issac!" bentaknya, aku sedikit terkejut dengan nada bicara Darrell, karena sepanjang pengetahuanku, dia tidak pernah dengan sengaja meninggikan suaranya pada Issac. Pantas saja saudaranya itu terlihat begitu sedih.
Aku membuka pintunya dan masuk.
"Apa kau tidak mengerti?" Darrell terdiam begitu melihatku. "Aku sedang tidak ingin bertemu siapapun," cetusnya.
Aku memutar bola mata. "Ya ... ya, Issac sudah mengatakan hal yang sama."
"Bagus, kalau begitu keluarlah." Dasar bocah tidak tau sopan santun!
Aku menarik napas, berusaha bersikap tenang dan tidak terpancing oleh sikap menyebalkan Darrell.
"Kamu sudah pernah datang ke sini sebelumnya," ucapku tanpa basa basi. Darrell mengernyitkan dahi dan mengangkat tubuhnya hingga posisi duduk.
"Siapa yang beritahu?"
"Tidak penting, jadi benar kamu pernah ke sini?" Aku berjalan mendekat dan berhenti tepat di sisi tempat tidurnya dengan tangan menyilang di dada.
Darrell menatapku datar, sama sekali tak terpengaruh oleh sikapku.
"Lalu? apa yang menjadikan ini urusan kak Nara?" tanyanya menantang. Aku mendengkus, berusaha keras untuk sabar menghadapi bocah sepuluh tahun yang layak mendapat award sebagai anak paling menyebalkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Angker Keluarga Dewitt
TerrorInara Cornellia Gerritt, seorang gadis lima belas tahun. Sejak perceraian kedua orang tuanya, Ara tinggal berdua dengan sang ayah. Hubungan Ara dan ibunya tidak terlalu baik, karena perasaan cemburu terhadap anak-anak dari pernikahan baru sang ibu...