^ Picture of Rey
Aku terbangun saat merasa seorang bernapas tepat di wajahku, tanganku mendorongnya keras sebelum mencoba kembali tidur. Hanya beberapa detik berlalu, dan terpaan napas itu kembali mengenai wajahku.
"Millie jauhan dikit napa." Suaraku terdengar berat karena masih pengaruh tidur, Millie tampaknya tak mengindahkan omonganku karena napas dinginnya masih terasa.
Aku mengerang dan membalikkan badan, berharap bisa melanjutkan tidur. Bocah sialan itu malah bergeser mendekat, aku bisa merasakan tubuhnya menyentuh punggungku.
"Jauh dikit sana!" bentakku, tetap tak membuka mata.
Seseorang mengetuk pintu kamar. "Nara, cepat bangun, udah siang ini." Kudengar suara mama memanggil. Aku menarik napas, merasa jengkel karena terus-menerus diganggu. "Nara ...," panggilnya lagi sebelum terdengar suara pintu terbuka.
"Nara, sekarang sudah pukul sembilan, anak gadis kok bangunnya siang banget." Aku membuka mata, menatap lesu pada mama.
"Ngapain sih, Ma, Ara ngantuk." Aku mencoba menutup wajah dengan bantal, tapi mama sudah lebih dulu mendekat dan menyambar bantal itu dariku.
"Oh tidak ... tidak, kita mau jalan-jalan, semua sudah siap di bawah, jadi kalau Nara gak mau ditinggal sendirian sebaiknya cepat." Mama pergi setelahnya. Aku mengusap wajah, mengumpat kesal karena dipaksa bangun. Tapi aku juga tidak mau ditinggal sendiri di rumah tua ini.
Tunggu, kalau semua sudah turun ke bawah lantas siapa yang ada di sebelahku? Aku segera membalikkan badan, menatap tak percaya pada sisi ranjang kosong di sebelahku. Segera menghambur, aku berlari menyusul mama dan yang lainnya di bawah.
Mama menoleh saat aku tiba di dapur, dia tersenyum dan menyuruhku duduk. "Sarapan dulu sebelum siap-siap." Mama meletakkan dua potong roti isi di depanku, kemudian memberikan segelas susu hangat sebelum melanyiapkan sarapan untuknya.
Aku menatap Millie yang sedang asik menikmati sarapannya, dia sudah mandi dan berganti pakaian, jadi pasti Millie sudah bangun setidaknya satu jam lalu.
"Issac, apa yang mama bilang soal memainkan kamera di meja makan?" Suara mama membuyarkan lamunanku. Terlihat Issac meletakkan kameranya dari sudut mataku. Bocah itu seakan tidak bisa jauh dari benda perekam kecil yang selalu dia bawa kemana-mana itu.
Darrell meraih saputangan dan membersihkan diri sebelum beranjak meninggalkan meja makan. "Aku akan menunggu di luar." Bocah laki-laki itu tak menunggu jawaban, dan langsung berdiri membawa piring bekasnya ke tempat cuci piring sebelum berlalu, mataku memperhatikan bergantian antara Issac dan Darrell, penampilan mereka mungkin terlihat identik, namun karakter dan sifat yang ditunjukkan begitu berlawanan.
"Hati-hati dong, Sayang." Mataku melirik mama yang sibuk membersihkan wajah Millie yang belepotan selai kacang.
"Aku sudah selesai," teriak Issac, meraih kamera kesayangannya bocah itu berlari menyusul Darrell ke luar. Mama hanya menggeleng pasrah melihatnya. Bocah itu bahkan tak membereskan bekas makannya.
"Sebaiknya kamu cepat bersiap-siap." Aku melihat Om Hendrik dan menyadari kalau perkataan itu ditujukan padaku.
"Hmm ...." jawabku malas, "memangnya kita mau ke mana?"
Om Hendrik tersenyum ke arahku. "Lihat saja nanti, pokoknya kalian pasti suka," jawabnya. Aku tak melanjutkan bertanya dan segera bersiap-siap. Udara terlalu dingin untuk mandi, jadi kuputuskan untuk hanya cuci muka dan berganti pakaian saja.
Aku mengambil tas ransel di kamar dan memastikan kalau aku sudah mengunci jendela, sebelum menyusul yang lain ke bawah.
"Kita gak bawa mobil?" tanyaku saat mereka mulai berjalan, Om Hendrik menoleh dan mengangkat alis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Angker Keluarga Dewitt
HorrorInara Cornellia Gerritt, seorang gadis lima belas tahun. Sejak perceraian kedua orang tuanya, Ara tinggal berdua dengan sang ayah. Hubungan Ara dan ibunya tidak terlalu baik, karena perasaan cemburu terhadap anak-anak dari pernikahan baru sang ibu...