06

10.9K 393 6
                                    

Vio menatap ke depan dengan malas, pelajaran Sejarah benar-benar tak menyenangkan membuat Vio bosan. Nadya si kucing garong, pernah mengatakan jika masa lalu tak perlu di kenang ataupun diingat-ingat. Lalu, kenapa di sekolah pelajaran masa lalu ini malah diajarkan, mana di suruh menghapal lagi.

Vio menatap Sean di sebelahnya, pemuda itu sedang mendengarkan guru botak di depan sana yang sedang menjelaskan. Sesekali dia mencatat sesuatu yang menurutnya penting.

Vio heran, Arsen sudah pintar, sangat pintar malah. Seharusnya dia malas-malasan seperti Vio pun tak masalah, tapi lihatlah, cowok jangkung itu begitu fokus mengabaikan semua orang di kelas yang sudah grasak-grusuk, mengeluh kebosanan.

Mungkin satu-satunya siswa yang belajar di jam masa lalu ini hanya Sean saja, oh dan masih ada satu orang lagi, Yola. Gadis berambut ombre yang duduk di meja depan itu merupakan saingan Sean dalam rangking kelas maupun rangking paralel. Keduanya selalu bersaing merebut posisi pertama. Namun sejak kelas sepuluh Sean tetap pemegang rangking pertama dan Yola menjadi yang kedua, lalu Kenan berada di urutan ketiga. Vio? tentu saja namanya tak pernah berada di urutan satu sampai sepuluh.

Selama dua tahun belajar di SMA Cakrawala, Vio selalu berada di urutan 20-an dalam rangking paralel. Dan selama itu pula rangking Keano selalu berada di atasnya. Jika Vio berada di rangking dua puluh tiga, maka Keano akan berada di rangking dua puluh dua.

Vio menghela nafas bosan. Gadis itu menenggelamkan kepalanya di lipatan tangannya yang berada di atas meja, membuat Sean yang memang sedari tadi memperhatikan Vio mengelus kepalanya. Gadis itu segera mengangkat kepalanya saat merasakan Sean menyentuhnya.

"Belajar, jangan tidur terus." Sean menyodorkan buku catatannya, setelah menyentil kening Vio sedikit keras.

Vio mendelik, tangannya mengusap bekas sentilan Sean yang memerah. "Vio nggak tidur, ish," rajuknya.

Sean terkekeh, dia menggantikan tangan Vio yang masih mengusap keningnya sendiri. Sedikit kasihan, melihat bekas kemerahannya.

"Ya, makanya belajar. Kepalanya diangkat, bukan ditidurin begitu." Sean mengacak rambut Vio, mengabaikan tatapan iri para siswi di sekitar mereka. "Catat gih," lanjutnya lagi.

Bibir Vio mencebik kesal, tapi tetap menjalankan perintah Sean. Lima belas menit, gadis itu selesai mencatat bersamaan dengan bel istirahat yang membuat siswa-siswi berhamburan keluar kelas menuju kantin.

"Mau makan di kantin?" Sean bertanya saat melihat Vio mengeluarkan bekal dari dalam tasnya. Hanya satu, karna Sean tak suka dibawakan bekal. Terlalu kekanakan.

Vio mengangguk. "Iya, ayok!" Vio menarik tangan Sean keluar kelas, ikut berbaur bersama ramainya siswa-siswi yang juga mempunyai tujuan yang sama dengan mereka.

Gadis itu menatap lima orang siswi di depan mereka yang sedang bercanda, sesekali mereka saling mengejek. Vio tersenyum, dia juga ingin mempunyai teman seperti mereka, tapi mengingat pengkhianatan temannya dulu, dia sedikit trauma berteman dengan perempuan.

Sekarang Vio hanya berteman dengan Nadya, itupun jika termasuk pertemanan, karna setiap mereka bertemu mereka akan selalu bertengkar. Gadis sebelah rumahnya itu menyebalkan, selalu membuat Vio kesal, tapi meski begitu hanya dia lah satu-satunya perempuan yang bergaul dengannya sekarang. Sayang, gadis itu sekolah di sekolah yang berbeda dengannya.

Sean tau apa yang Vio pikirkan, dia menatap lima orang gadis di depannya. "Minggir!" Sean berucap dingin membuat salah satu gadis segera berbalik, dia Yola.

"Eh, kalian buru-buru ya? aduh maaf ya, kami ngehalangin jalan." Setelah mengatakan itu Yola segera memberi kode kepada teman-temannya agar menyingkir.

violetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang