28

4K 179 28
                                    

Vio mematung. Tak berani mendekat juga tak ingin mundur.

"Arsen ...," lirihnya dengan mata berkaca-kaca.

Sean masih tetap di posisinya. "Pulang."

"Maafin Vio." Vio menangis, berbalik badan hendak pergi.

Mama Maya berbohong. Arsennya marah padanya, tak ingin melihatnya lagi.

Sean ikut berbalik saat mendengar pergerakan Vio. Tangannya terlipat di dada. Menunggu Vio kembali berbalik badan untuk melihatnya.

Namun, hingga mencapai pintu pun, gadis yang masih mengenakan training dan sweeter yang tadi malam dipakaikan olehnya itu tetap melanjutkan langkahnya dengan kepala menunduk.

Sean berdecak kesal, sengaja dikeraskan agak Vio mendengar dan berbalik, tapi gadis itu tetap melanjutkan langkah hingga keluar kamarnya.

Sean melangkah cepat, mengejar langkah Vio yang cukup pelan. Tanpa aba-aba Sean mengangkatnya seperti karung beras membuat Vio menjerit kaget.

"Arsen?" Vio membenarkan posisinya, menegakkan badan dan menunduk melihat Sean.

"Arsen." Vio menangis saat melihat wajah Sean yang berkerut. Kekasihnya sangat kesal padanya.

Pintu kamar dibanting kuat oleh Sean menggunakan kaki. Kemudian, melempar Vio ke atas ranjangnya dengan cukup keras.

Vio meringis, takut melihat kemarahan Sean.

Melihat Sean yang justru menindih tubuhnya dengan rahang mengeras, Vio memejamkan mata. Pasrah dengan kemarahan Arsennya.

Dalam bayangan Vio, Sean akan menamparnya atau paling tidak mencengkram pipinya dan memarahinya, tapi yang terjadi justru membuat tangisnya semakin kencang.

Sean menciumnya. Melayangkan kecupan bertubi-tubi di seluruh permukaan wajahnya.

"Kenapa nangis?" Kening Sean berkerut bingung.

"Arsen marah." Vio menangis memeluk leher Sean dan menyembunyikan wajah di dada kekasihnya itu.

Sean merengkuh pinggang Vio, mendudukkan diri dengan membawa Vio di pangkuannya. Membiarkan gadis itu menangis sepuasnya. Sean bisa merasakan dadanya basah oleh air mata Vio.

Sebelah tangannya dengan telaten mengelus kepala belakang Vio dan yang sebelahnya lagi merengkuh pinggang gadisnya dengan erat.

Sean bangkit, berpindah ke sofa dan menyalakan televisi untuk meramaikan kamarnya yang hanya diisi tangisan Vio. Semuanya dilakukan dengan posisi Vio masih di pangkuannya. Sudah seperti Koala yang menempel di batang pohon.

Hanya lima belas menit, Vio sudah diam. Kepalanya dijauhkan dari dada Sean dan mendongak menatap wajah tampan kekasihnya dari bawah. Mulutnya terbuka saat Sean menyuapinya snack.

"Arsen," panggilnya serak.

"Hm?" Sean melirik sekilas, lalu kembali fokus pada televisi yang menayangkan berita. Bosan dengan tontonannya Sean menggapai ponsel dan bermain game di sana.

"Arsen." Lagi, Vio kembali memanggilnya. Kali ini dia hanya berdehem tanpa melirik.

"Arsen."

Sean meletakkan ponselnya memeluk kepala Vio dengan gemas. "Kenapa sih, hm?"

"Lapar," cicitnya dengan pandangan yang tertuju pada dada Sean. Jemarinya berjalan dengan anggun di tubuh kekasihnya itu.

Saat sampai di dada, Vio berhenti, dia mendongak sekilas menatap Sean yang justru menyandarkan diri di sofa dengan santai. Tatapannya mengikuti gerakan mata Vio yang mengikut arah jemarinya.

violetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang