18

5.6K 233 0
                                    


Happy reading

————————

Tuhan kucinta dia~
Kuingin bersamanya~
Kuingin habiskan nafas ini berdua dengannya~

Sean menghela nafas panjang. Dia memijat pelipisnya yang terasa berdenyut dengan sebelah tangan, sedangkan tangan yang sebelah lagi digunakan untuk menyetir.

Hari ini dia berangkat sekolah menggunakan mobil, karna motornya ada bersama Keano. Sekarang dia dan Vio masih dalam perjalanan menuju sekolah, suasana jalanan masih sedikit lengang karna Sean memang sengaja berangkat lebih pagi untuk menghindari macet.

"Arsen, Vio pengen lontong yang di warung deket sekolah deh," celetuk Vio tiba-tiba menghentikan nyanyiannya yang sedari tadi sungguh mengganggu pendengaran Sean.

Bukannya jahat atau apa, tapi memang Vio menyanyi dengan suara keras, hampir seperti berteriak membuat Sean pusing.

"Belum buka jam segini, nanti jam delapan baru bisa beli." Sean menjawab dengan mata pokus menatap jalanan.

Vio mengerucutkan bibirnya, gadis manis yang pagi ini mengenakan cardigan warna cream sebagai outher dari seragamnya itu memutar duduknya, bersila menghadap Sean.

"Lama, nanti kalo jam segitu kan udah masuk kelas," protesnya.

"Ya nggak papa, kan makan lontongnya bisa nanti pas istirahat." Tangan kiri Sean yang bebas dari kemudi menyelipkan anak rambut di sisi wajah Vio ke belakang telinga gadis itu.

Hari ini rambut panjang Vio dikuncir oleh Sean, poninya diberi jepitan lidi di atas kepala membuat dahinya terekspos. Nampak dewasa dan mengemaskan disaat yang bersamaan dengan sedikit anak rambut kecil di sisi-sisi wajahnya.

"Nggak mau, maunya sekarang! Vio mau sekarang," rengeknya.

Vio menggenggam tangan kiri Sean, mencubitnya kecil dengan samar. "Tangan Arsen keren, uratnya keliatan. Vio juga mau dong."

Sean mendelik mendengarnya. "Mana bisa gitu, emang Vio pernah ngeliat ada cewek yang tangannya berurat?"

Vio memiringkan kepalanya, jari telunjuknya mengetuk ujung hidungnya sendiri. "Kayaknya nggak pernah, tapi kalo yang kakinya berurat pernah lho, Arsen," ujarnya antusias saat mengingat sesuatu.

Kening Sean mengernyit bingung. "Maksudnya gimana?" tanyanya. Kepalanya menoleh ke arah Vio yang duduk menghadap padanya sebentar, kemudian kembali menatap ke depan.

"Kan kemarin pas kita ke pasar malam, ada ibu-ibu, Arsen. Ibu yang pake baju merah. Kakinya berurat juga kayak tangan Arsen, eh enggak kakinya lebih banyak uratnya daripada tangan Arsen," ocehnya menjelaskan dengan gaya khasnya yang terlihat menerawang.

"Hah, gimana, gimana?" tanya Sean lagi. "Maksudnya di betis banyak uratnya yang menonjol gitu?" Sean memperjelas.

Vio mengangguk semangat. "Iya gitu! Tapi kakinya nggak keren, nggak kayak tangan Arsen."

Sean menghela nafasnya. "Itu sakit, Sayang. Itu penyakit, nggak sama kayak tangan Arsen," jelasnya lembut. Tangannya terangkat mengusap puncak kepala Vio.

Mendengar tak ada lagi balasan membuat Sean menoleh. Dia melihat Vio yang memegang dadanya dengan wajah memerah. Seketika Sean panik. Dia segera menepikan mobilnya, padahal mereka sudah memasuki kompleks sekolah mereka.

Tangannya yang besar menangkup pipi Vio yang semakin merah sampai telinga dan lehernya. "Kenapa Vi? Hey, Sayang?!" Sean meninggikan suaranya saat tak juga mendapatkan jawaban.

violetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang