11

8.4K 320 6
                                    

Happy reading

——————————

"Karna gue sayang sama lo, sementara Daddy lo bahkan nggak peduli sama hidup lo."

Vio diam, rasanya seperti ada pisau tajam yang menancap tepat di ulu hatinya. Begitu sakit rasanya, membuat Vio sesak bahkan untuk mengambil nafas sekalipun, rasanya sungguh berat.

Dia tau yang dikatakan Sean memang benar adanya, selama ini pria yang selalu dipanggilnya Daddy itu bahkan tak pernah datang meskipun dia sakit. Saat Daddynya datang, itu hanya untuk urusan bisnisnya. Dan dia hanya akan berada di rumah untuk tidur di malam hari. Tak pernah sekalipun pria itu meluangkan waktu untuk Vio sebagaimana dia selalu menghabiskan waktu bersama Kenzie, Abangnya.

Vio tak tahu dimana ayahnya tinggal selama ini. Selama yang Vio tahu, kepulangan Kenzo ke Indonesia bahkan dapat dihitung jari. Bisa sekali dalam dua tahun atau bahkan lebih lama lagi. Namun, yang pasti semua keluarga dari pihak Ayahnya tinggal di Belanda, karna Opanya memang asli orang sana. Sementara, keluarga dari Ibunya, Vio tak tahu dimana mereka sekarang.

Yang Vio tahu, selama ini dia dibuang oleh mereka semua. Baik itu dari pihak Ibunya atau pun dari pihak Ayahnya, atau bahkan dibuang oleh Ayahnya sendiri.

Wajah Vio yang tadinya dipenuhi kekesalan karna Sean melarangnya untuk sekolah berubah menatap Sean dengan pandangan nanar dan senyum miris, membuat Sean ikut diam dengan rasa bersalah. dia tak bermaksud menyakiti Vio dengan kata-katanya. Dia hanya tak ingin Vio keras kepala dan membuatnya khawatir.


Sean menuruni ranjang saat Vio berbalik membelakanginya. Dia berjongkok di depan Vio. Sean bisa melihat setitik air mata di ujung mata Vio yang terpejam.

"Vio, maaf, maafin Arsen," ujarnya lirih. Dia tak sanggup melihat Vio yang seperti ini. Dia ikut sesak melihat mata gadis itu yang mengeluarkan lebih bayak butiran air.

Vio menangis tanpa suara, dan itu sesaknya berkali-kali lipat.

"Vio ...." Sean segera mendekap kepala Vio di dadanya, sesekali mengecup puncak kepala gadis itu. Membiarkan Vio menumpahkan air matanya.

"Vio mau marah, tapi nggak tau mau marah karna apa hiks ... yang dibilang Arsen benar, tap-tapi nggak bener, hiks ... Vio nggak tau."

Vio mencengkram kaos Sean membuatnya kusut di bagian dada. "Dad-Daddy peduli, hiks ... Arsen nggak boleh bilang gitu," ujarnya lagi masih dengan terisak.

Ya, selama ini Vio selalu membantah asumsinya sendiri bahwa dia telah dibuang oleh mereka semua, bahwa tak satupun dari mereka peduli padanya. Dia selalu mendoktrin dirinya sendiri dengan meyakinkan diri bahwa mereka sebenarnya sayang padanya, bahwa mereka hanya sibuk dengan kehidupan mereka di sana, sama sepertinya yang sibuk dengan kehidupannya disini. Mereka hanya tak punya waktu luang untuk datang menjenguknya dan mengajaknya bermain.

Setelah meyakinkan diri seperti itu, perasaannya akan menjadi lebih tenang, meski pun sebagian dari hati dan pikirannya menolak itu semua, tapi setidaknya dengan begitu dia merasa lebih baik sehingga bisa kembali tersenyum dan kembali menjalani hari dengan penuh keceriaan. Setidaknya meskipun mereka tak ada di sini dia masih mempunyai banyak orang yang sayang padanya dan ingin melihatnya selalu tersenyum.

violetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang