08

9.5K 436 5
                                    

Arsen menatap lekat Vio yang terlelap di brankar depannya. Vio sudah sempat sadar tadi, gadis itu berteriak-teriak dengan mata yang menatap takut semua orang yang ada di ruangan, bahkan tadi sempat melempar seorang suster yang berusaha menenangkannya dengan vas bunga. Baru tenang setelah disuntikkan obat oleh dokter.

Saat ini dia hanya sendirian di ruang rawat Vio, teman-temannya kembali ke sekolah dan akan berkunjung nanti malam.

Arsen menghela nafas lelah sekaligus lega. Tadi dia panik bukan main karna mengira Vio terluka parah saat melihat gadis itu tergelatak dengan banyak darah, ternyata yang luka hanya dahi dan telapak tangannya membuat Arsen bisa bernafas tenang, meski masih sedikit khawatir saat mengetahui bahwa Vio ternyata trauma melihat banyak darah setelah tadi sempat di datangi seorang psikiater saat Vio mengamuk.

Bunyi ketukan pintu membuatnya mengalihkan pandangan melihat siapa yang datang berkunjung. Saat melihat pasangan paruh baya di depannya Arsen segera bangkit, dia memeluk Maya erat, menyalurkan perasaannya yang sedang kalut.

"Mama, Vio sakit lagi. Arsen gak berguna," lirih Arsen.

Maya tersenyum lembut, tangannya menepuk-nepuk punggung putra semata wayangnya yang menenggelamkan wajah di bahunya.

"Udah, jangan nangis, Sayang. Sean gak boleh lemah, Sean harus tegar, harus kuat biar bisa bantu Vio buat sembuh."

Farhan tersenyum miring melihat putranya yang menangis memeluk sang Mama. "Cengeng," ejeknya.

Sean segera melepas pelukannya, kemudian menatap Farhan yang sudah berdiri di samping ranjang Vio.

"Sean gak nangis!" tegas Sean penuh penekanan.

Farhan mengecup kening Vio, lalu berbalik menatap Sean. "Oh ya,matamu sedikit bengkak," ejeknya lagi.

Sean melotot dia segera mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Dia menatap pantulan wajahnya di kamera ponsel. "Ck, kenapa begini sih," gerutunya, berjalan ke arah toilet.

Setelah melihat putra semata wayang mereka memasuki toilet, Maya menatap suaminya kesal. "Mas, jangan di ejek begitu, dia lagi sedih!" tegurnya.

Farhan terkekeh dan mendudukkan diri di sofa sebelah istrinya. "Dia memang cengeng, Vio hanya pingsan, tapi dia sudah menangis seperti Vio sedang koma saja."

Maya tersenyum manis. "Itu karna dia sayang Vio, dia nggak mau Vio kenapa-napa."

"Kekhawatirannya menunjukkan dia lemah, dia mempunyai kelemahan. Itu tak baik May." Farhan mengusap kepala istrinya lembut.

"Ya kan memang benar, dia lemah jika mengenai Vio." Maya menatap suaminya tak mengerti.

"Sean ikut geng, punya banyak musuh. Jika mereka tau Vio kelemahannya, bisa jadi mereka membahayakan Vio."

Maya berdecak. "Ya udah, suruh Sean berhenti, kan gampang. Lagi pula itu membahayakan dirinya sendiri juga, aku tak suka saat dia pulang dalam keadaan babak belur."

Farhan menggeleng. "Tidak boleh, selagi Sean tidak kelewatan kita tak boleh membatasinya. Yang terpenting Sean tau bagaimana cara melindungi diri. Putra mu itu cerdik. Tak perlu dikhawatirkan." Farhan menarik Maya ke dalam pelukannya.

Sean keluar dari toilet setelah selesai membersihkan diri dan mengganti baju. Maya membawakan baju dari rumah setelah tadi melihat seragam Sean yang penuh darah saat dia datang pertama kali. Ketika mendapat kabar lewat telpon dari Sean yang mengatakan Vio masuk rumah sakit. Awalnya Maya sempat syok dan datang ke rumah sakit tanpa menunggu Farhan, saat melihat keadaan Vio barulah dia bisa bernafas lega dan pulang kerumah mengambil baju sekalian menunggu Farhan pulang agar bisa datang bersama.

violetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang