Episode 19

332 65 9
                                    

Biro Militer terasa sunyi karena beberapa prajuritnya pergi untuk tugas, Jeno duduk dengan tenang dikursi nya membaca beberapa laporan yang masuk. Matanya bergulir pelan membaca tiap kata yang tertuang digulungan.

Sesekali keningnya mengernyitkan disela bacaanya atau mendecakkan lidahnya dikala melihat isi laporan yang menurutnya sangat miris untuk dibaca. Sebenarnya tubuhnya sudah lelah, sangat lelah.

Masalah silih berganti datang dan mengeksploitasi tubuhnya, dirinya harus tetap waspada pada apapun baik informasi atau pergerakan musuh, lengah sedikit saja akan kacau.

Ingat Jeno sangat membenci apapun berbau istana, tapi sekarang dia menjilat omongannya sendiri bahwa dia nyaman dan terasa cocok bekerja di istana. menangkap para bedebah itu adalah kesukaan Jeno.

Jeno hanya ingin menciptakan keadaan yang aman dan damai, munafik memang tapi apa salahnya berharap dan bermimpi. Setidaknya Jeno sudah berusaha dan berjuang untuk menciptakan itu melalui posisinya sekarang.

Jeno lebih memilih untuk bertindak apapun resikonya dibandingkan ia hanya berdiri terdiam tanpa melakukan apapun saat kekerasa, ketidakadilan serta kecurangan terjadi disekitarnya.

Telinga Jeno bahkan sudah kebal mendengar cemoohan para Menteri atau Pejabat yang tidak menyukai dirinya, masa bodoh dengan semua itu. Sungguh Jeno tidak peduli.

Dirinya sudah diberikan kepercayaan oleh Raja dan rakyat untuk mengemban tugasnya, jadi dia ingin memenuhi tugas dan kewajiban itu. Jikalau pun Jeno harus gugur dalam tugasnya.

Tapi sekarang pemikiran itu menjadi pertimbangan untuknya, dirinya sekarang tidak sendiri. Ada sosok manis yang selalu tersenyum dan menghiburnya dikala lelah dengan semua tugasnya.

Na Jaemin, mengingat nama itu saja sudah membuat senyum Jeno mengembang dengan lebar. Kenapa sosok itu begitu mempengaruhinya.

Sungguh sudah berhari-hari Jeno tidak menemui sosok manis itu, rasa sesak dan membuncah bergemuruh didada Jeno merindukan Jaemin.

Menyandarkan tubuh lelah nya kekursi, menatap langit-langit ruangannya. Mengingat kembali wajah manis, hidung bangirnya, mata rusa yang berkaca-kaca tersorot sinar matahari, serta bibir tipis nan ranum kesukaannya.

Jeno bisa gila hanya dengan mengingatnya saja, Jeno ingin bertemu dengan Jaemin.

Dia sudah terlalu merindukan sosok manis itu.

-

"Jeno!"

Jeno terbangun merasakan tubuhnya diguncang cukup keras dan seseorang memanggil namanya. Mata sipit iru terbuka lebar menangkap tubuh tinggi kakaknya, Minhyung hyung.

"Hyung, ada apa?" paraunya.

Minhyung menghela napas menatap Jeno dengan tatapan sulit diartikan "Jaemin ditangkap atas tuduhan membunuh Puteri Mahkota" lirihnya.

Tubuh Jeno membeku, telinganya tidak salah mendengarkan ucapan dari hyung nya ini, Jeno tersenyum jenaka "Hyung, kau bercanda?" ucapnya tidak percaya.

Namun gelengan pelan serta tatapan serius Minhyung membuat jantung Jeno berdetak kencang. Bahkan mulutnya tidak bisa berkata-kata.

"Bersiap-siaplah, kita akan ketempat introgasi Jaemin" Minhyung meninggalkan Jeno yang masih tercenung dikursinya.

Apa-apaan ini, Jaemin dituduh sebagai pembunuh Puteri Mahkota. Demi Langit! Jaemin bahkan belum pernah bertemu dengan Puteri Mahkota, tapi kenapa dengan konyolnya menuduhnya sebagai pembunuh.

Tapi Puteri Mahkota terbunuh? Masalah apalagi kali ini, kenapa harus Jaemin?! Kenapa harus Jaeminnya yang menjadi target!

Jeno mengusap gusar wajah nya, bergegas bersiap-siap untuk ketempat introgasi Jaemin.

-

Teriakan kesakitan serta tangisan pilu terdengar menyedihkan. Pukulan keras beberapa kali terdengar saat tidak mendapatkan jawaban yang diinginkan.

Jaemin terengah-engah, tubuhnya benar-benar sakit yang tidak bisa ia jabarkan. Sejak tadi pagi dirinya sudah disiksa oleh algojo, dirinya didudukkan dikursi dan tangannya diikat kebelakang.

Beberapa kali algojo memukul paha nya menggunakan kayu, bahkan baju putihnya kini sudah ternodai oleh darah yang merembes keluar dari pahanya.

Pemandangan ini sungguh tidak mengenakan, sosok yang biasanya ceria, matanya yang berkilauan, serta bibir ramun yang tak hentinya tersenyum kini begitu pucat dengan keringat dingin menahan sakit.

"Apa motifmu membunuh Puteri Mahkota?!" seru seorang penyelidik yang duduk dengan sombong diatas kursinya, memandang rendah Jaemin.

Jaemin menggeleng pelan sesekali terisak "Aku.... tidak membunuh.... Puteri Mahkota".

Dengan intruksi dari penyelidik tersebut algojo menganggukkan kepalanya lalu memukul kembali paha Jaemin "Argh!" teriak kesakitan Jaemin.

Jeno dan Minhyung sudah sampai di tempat introgasi, mata Jeno berkilat marah melihat orang terkasihnya menangis dan berteriak kesakitan. Rahangnya mengeras menahan gejolak amarahnya.

Tubuh Jeno sudah ingin menghampiri dan menghentikan siksaan Jaemin namun ditahan oleh Minhyung "Jangan, jika kau kesana akan menambah beban Jaemin. Ingat posisimu" ingat Minhyung.

Jeno mengepalkan jemarinya, matanya berkaca-kaca tidak kuasa. Demi Langit! Jeno ingin menyelamatkan Jaemin.

"Argh! Hentikan, kumohon! Ini sangat sakit" isak Jaemin, tubuhnya benar-benar sudah tidak kuasa menahan kesakitan ini lagi.

Tak lama Jaemin pun pingsan, lalu beberapa prajurit pun membawa tubuh Jaemin kembali ke penjara. Introgasi dan penyiksaan pun dihentikan sementara.

"Kita harus bertemu dengan Menteri Jung dan Yang Mulia Raja" ajak Minhyung menarik tangan Jeno yang tak melepaskan tatapannya pada tubuh yang diangkut itu.

-

"Letnan Hwang!" seru seorang prajurit berlari tergesa-gesa menghampir salah satu petinggi di Biro Militer.

Letnan Hwang, Letnan Son, dan Putera Mahkota yang sedang berdiskusi terhenti mendengar seruan seorang prajurit.

Prajurit tersebut sudah berdiri terengah-engah di hadapan Letnan Hwang "Ada apa?" tegasnya.

Prajurit tersebut menatap Letnan Hwang "Pu-Puteri Mahkota telah terbunuh di Istana" lapornya.

Mereka semua yang mendengar berita tersebut terkejut bukan main. Bahkan Putera Mahkota berjalan menghampiri dan meremas pundak prajurit tersebut "Apa maksudmu?! Puteri Mahkota tidak mungkin terbunuh!".

Prajurit tersebut berlutut memohon ampun "Maafkan hamba, Yang Mulia. Tetapi itulah berita yang diberikan oleh Istana".

Seketika otot-otot tubuhnya melemas dengan sigap Letnan Son menahan tubuh Putera Mahkota agar tidak terjatuh.

"Tidak mungkin! Tidak mungkin Puteri Mahkota-ku! Argh!" seru pilu Putera Mahkota, semua pasukan yang mendengarnya pun tertunduk sedih.

Mungkin mereka memang dipaksan untuk bersama oleh keadaan, namun Putera Mahkota memperlakukan Puteri Mahkota sebagaimana sebagai orang yang akan menjadi suaminya kelak.

Putera Mahkota memang belum memiliki perasaan cinta pada sosok lembut tersebut, tetapi dia nyaman dan bisa menjadi dirinya sendiri saat bersama Puteri Mahkota. Berita kematian Puteri Mahkota bagai tombak yang menghunus dadanya.

Sakit dan sesak.

"Letnan Hwang, kita harus segera kembali ke Istana" ujar Letnan Son.

Hwang Hyunjin menganggukkan kepala lalu berseru "Bereskan semua perlengkapan, sisakan beberapa pasukan disini untuk berjaga dan sisanya kita akan kembali ke Istana!".





Maaf kalo ada typo dan kata yang gak nyambung, beneran tahu bulat diketik dadakan weh

In Time | NOMIN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang