Munich, April 2027
"No, no, sweetheart. Lo harus pulang,"
"Hngg....males....." aku mengerang pelan. Ini masih terlalu pagi untuk menghadapi ocehan Devina, serius. Munich pagi di musim semi, rasanya aku ingin tetap di tempat tidur saja.
Devina adalah salah satu teman dekatku sejak kuliah. Berada di dunia yang sama, terlebih ia yang pernah membintangi film yang diangkat dari salah satu trilogi yang pernah kutulis, membuat kami cukup dekat. Padahal, kata orang, dan kataku juga sih, sifat kami sangat bertolak belakang.
Devina, sama seperti orang entertain pada umumnya, pandai bersikap di depan kamera. Suka tersenyum, tertawa, dan beramah-tamah dengan orang baru. Well, that's what they said, opposites attract, kan?
Heh, mitos.
Devina masih sibuk memaparkan argumen kenapa aku harus pulang, ke Jakarta, untuk menghadiri baby shower—ya, Devina sedang mengandung anak keduanya. Ia menikah dengan seorang produser musik—yang akan ia selenggarakan. Aku masih berdehem pura-pura mengerti sementara kopi aku biarkan mengepul di atas meja, dan tanganku meraih surat-surat yang ada di kotak pos.
Sebuah undangan berpita dengan aksen hijau tampak mencolok di antara amplop putih bertuliskan alamat. Wah, siapa lagi yang menikah?
Aku meraihnya, membawanya masuk beserta surat-surat lainnnya. Setumpuk surat langsung kuletakkan di meja samping pintu untuk kubaca nanti, sementara tanganku bergerak membuka undangan cantik ini.
Sudut bibirku tertarik ke atas.
"-so that's why lo harus-"
"Iya."
"Hah? Apaan?"
"Iya, tanggal berapa tadi? 9 kan? Iya, gue pulang tanggal 5 nanti."
Devina terdengar menjerit girang di sebelah sana, membuatku harus menjauhkan ponselku sebentar. Mataku masih menjelajahi undangan reuni SMA di tanganku. Sebagai orang awam yang tidak paham desain, undangan ini sangat enak dikonsumsi mata. Jadi penasaran siapa yang membuatnya.
Ah, sudah berapa tahun? Delapan?
Ada yang bilang masa remaja adalah masa yang paling menyenangkan. Masa dimana kamu menemukan bahwa independensi adalah hal yang luar biasa menyenangkan, kebebasan adalah hal yang paling menggoda, dan idealisme adalah hal yang paling keren untuk dimiliki.
Kita akan jadi masyarakat paling menyebalkan yang suka menuntut, tapi tidak banyak bisa memberikan apa-apa. Semua terasa hipotetikal, rasa sakit suka muncul tanpa sebab pasti, kita ada dalam deep confusion tentang hampir segala hal. Kita akan berada di persimpangan antara dua atau lebih hal.
Tapi tetap, masa remaja adalah masa yang paling menyenangkan. Ayo setuju!
Aku juga begitu.
Masa remaja mempertemukanku dengan banyak orang-orang baik. Setelah harus menelan pahit dikeliling oleh orang-orang judgemental dan egois di sekolah menengah pertama (yes, mereka menyebalkan karena membuat standar seenak jidat dan seakan-akan kata berbeda hanya boleh ada untuk mereka), aku menemukan orang-orang terbaik di sekolah menengah atas. Aku menemukan mimpiku dan keberanian untuk mendobrak semua stigma yang memenuhi kehidupanku sejak aku masih bisa mengingat.
Masa remaja, mengajarkanku bahwa kebebasan itu ada. Dan pada dasarnya, setiap orang selalu memiliki kemungkinan dan kemampuan untuk meraihnya. Memutuskan untuk meninggalkan Jakarta dan Indonesia empat tahun lalu hanya salah satunya.
Ini tentang aku.
Dan sahabat-sahabatku yang kini tidak kuketahui lagi dimana.
KAMU SEDANG MEMBACA
all type of love
Ficção GeralDelapan tahun lalu, di Jakarta. Amara, Satria, dan Aleric.