Jakarta, Desember 2018
"Mar."
"Hmmm."
"Gue mau cerita dong."
Aku menurunkan ponselku dan menatap Satria. Satria duduk di sebelahku, yang sebenarnya bukan kursinya, di sisa istirahat siang ini. Aku sedang malas keluar, tadi langsung kembali setelah makan di kantin bersama teman-temanku. "Cerita apaan?"
Satria tersenyum simpul. "Tentang orang yang gue suka,"
Aku refleks ikut tersenyum. "Menarik, nih." Aku berkata, setengah meledek dan mengubah posisiku menghadapnya. "Gue kenal nggak?"
Satria mengangguk, aku makin antusias. "Ciri-ciri?"
Satria malah tertawa. "Sebentar," ia tampak berpikir. "Orang bilang dia galak, tapi gue liatnya dia lucu banget. Individualis, tapi peduli banget sama temen-temennya."
Pikiranku langsung mengelana ke jajaran teman-teman perempuanku yang terkenal galak. Individualis, tetapi peduli. Saat tidak kunjung terbayang wajah atau nama, aku kembali fokus pada Satria. "Lo yakin gue kenal sama dia?"
"Hm-m, lo udah beberapa kali ngobrol, kok."
Aku mengerang kecil. "Sat, gue tau gua ansos, tapi gue nggak seansos itu, ya. Lo kira hari ini aja gue udah ngobrol sama berapa orang?"
Satria tertawa lagi. "Nggak ah, gue nggak mau ngasih tau orangnya." Tolaknya. Aku mengangguk. "Terus?"
"Terus...kayaknya dia benci gue deh,"
"Hah? Yakin?" aku langsung mengernyit. "Yakin dia benci sama lo, bukannya gengsi doang? Terus sok-sok benci?"
Satria masih tertawa. "Suuzon amat."
"Yah, mana ada yang bisa benci lo sih, Sat?" aku mengendikkan bahu. "Paling Aleric, tuh."
"Gue di mata lo suci banget ya?" Satria tersenyum kecil. "Ya, tetep ada kan?"
"Aleric mah kasus langka."
Obrolan kami terputu karena teman-temen berhambur masuk saat guru Bahasa Indonesia sudah terlihat di jendela paling ujung.
KAMU SEDANG MEMBACA
all type of love
General FictionDelapan tahun lalu, di Jakarta. Amara, Satria, dan Aleric.