Di kantin, hampir semua anak angkatan ada di sana. Antara lapar karena habis ujian, atau karena ini hari terakhir, jadi kami bisa bebas mengobrol dulu tanpa harus dibayangi ujian besok. Aku tidak melihat Aleric, dan jika urusan Bu Yanti dengan Satria tadi adalah tentang thread ini, maka aku cukup yakin Aleric juga dipanggil.
Aku baru akan duduk di sebelah Erin (aku bergabung dengan teman-temanku bersama Aya) dengan es teh di tanganku, saat telingaku menangkap sesuatu dari meja sebelah.
"Eh, sumpah, sumpah. Lo semua harus tau, Satria sama Aleric gay!"
Premis itu memancing reaksi dari teman-temannya, membuatnya mengangguk dan menambahkan. "Tadi tuh Aleric dipanggil ke BK, kayaknya masalah ini."
Aku menoleh, melihat salah satu temanku (tidak terlalu dekat, tetapi aku suka membahasakan setiap anak di angkatku sebagai teman), seperti sedang membuka ponselnya untuk diperlihatkan ke teman-temannya.
"Boong anjir?"
"Asli! Sumpah, nggak curiga apa lo? Yang dulunya ribut terus tau-tau akrab banget, kemana-mana bareng? Gue sih curiga ada apa-apa," Farah, yang kubahas tadi, terdengar berapi-api. Aku tidak bisa melihat ekspresinya, ia duduk membelakangiku.
"Yah, kalo temenan mah bisa aja, Far..." salah satu temannya menimpali.
"Ya nggak apa-apa kalo temenan, kalo lebih? Dih, gue mah males ya temenan sama orang gay. Jijik banget sumpah, untung gue udah move on dari Satria." Farah berkata lagi. "Kalo bisa, DO aja anjir, nggak usah dikasih ijazah. Rukiah dulu- anjir?!"
"Amara!"
Saat aku sadar, tanganku sudah membalik gelas es teh tepat di atas kepala Farah. Napasku cepat, aku baru sadar, sementara tanganku tidak sengaja meremat gelas plastik bekas es teh.
"Apa-apaan sih, lo Mar?!" Farah berteriak marah, berdiri dari kursinya. Teman-temannya ikut berdiri, seketika aku merasa takut akan dikeroyok.
Tapi rasa marahku lebih besar.
"Mulut lo bisa disekolahin nggak?" kataku. "Diem kalo lo nggak tau apa-apa anjing!" Wajahku tiba-tiba ditampar, membuatku meringis kaget. Semuanya terjadi begitu cepat-cepat, tahu-tahu aku sudah ditahan oleh Erin dan Aya. Farah juga ditahan oleh teman-temannya, dan ada Yoga berdiri di antara kami. "Kenapa sih kalian?!"
"Mana gue tau! Dia tiba-tiba nyiram gue!" adu Farah, dan aku tidak menyangkal. Memang seperti itu kejadiannya. "Lepasin," pintaku pada Erin dan Aya. Saat mereka tidak juga mengabulkan, "lepasin, gue nggak bisa liat ini orang lama-lama." aku menarik lenganku paksa.
"Mar-"
"Sorry, ya Far." kataku, tidak mau memperpanjang.
"Minta maaf apaan kayak gitu?!" Tania yang berdiri di samping Farah yang bersuara.
"Yang penting gue udah minta maaf." aku berkata, sebelum mengambil tas dan berjalan membelah kerumunan untuk pergi ke toilet. Jadi tontonan angkatan, rupanya.
Di toilet, aku mematut diriku di cermin. Ada dua luka cakar di leher, Farah memang suka memanjangkan kuku. Aku suka melihat kukunya yang bagus dan seringakali dicat warna (setelah itu ia harus mengepalkan tangan seharian agar tidak ketahuan), tetapi ternyata baru kali ini aku tahu bahwa kukunya yang cantik itu cukup menyakitkan. Rambutku berantakan, hasil dijambak dan kepalan tanganku sedikit sakit, karena tadi sempat menonjok entah siapa (tadi aku benar-benar dikeroyok).
Aku menghela napas. Wah. Ini hari terakhir sekolah dan aku malah mencatat rekor bertengkar padahal sudah diam-diam saja selama tiga tahun ini.
Jangan overthinking, Amara. Pasti Satria sama Aleric baik-baik aja. Pasti guru-guru juga nggak nganggap serius thread iseng itu. Tenang.
Aku menarik napas, membuka keran untuk mencuci muka. Amarah, campur rasa takut terasa di ubun-ubun. Rasanya aku bisa meledak--dalam artian marah dan menangis--kapan saja. Napasku sedikit tersenggal, aku tidak terbiasa dengan ledakan emosi seperti ini.
"Mar?"
Aku menoleh ke belakang dan melihat ada kaki yang menunggu di luar toilet. Itu bukan suara Farah atau teman-temannya (siapa tau mereka masih dendam), atau Aya, atau Erin.
Itu suara Tian.
Aku berbalik, membuka pintu toilet. "Kenapa?"
"Sepatu lo," ia membungkuk untuk meletakkan sepatu sebelah kanan milikku di samping kakiku. Loh, aku baru sadar sepatuku terlepas tadi. Lucu juga aku hanya pakai sepatu sebelah.
"Makasih," kataku singkat, memasukkan kakiku asal dan menginjak bagian belakang sepatuku.
"Gue anter pulang ya?" tawar Tian. Aku menatapnya.
Dan mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
all type of love
General FictionDelapan tahun lalu, di Jakarta. Amara, Satria, dan Aleric.