Jakarta, Mei 2019
Hari ini wisuda. Wisuda tahun ini diadakan di ballroom sebuah hotel (berkat para orang tua yang juga menjadi donatur) di daerah Jakarta Pusat. Luar ballroom tampak ramai dengan teman-teman yang saling bicara, karena cukup lama tidak bertemu. Aku tersenyum beberapa kali saat disapa, meskipun hanya terlibat sedikit dalam pembicaraan dengan teman-temanku.
"Satria masih nggak keliatan ya," Aya bergumam di sebelahku. Aku hanya melirik. "Apa jangan-jangan dia sama Aleric beneran?"
Aku tidak mau menanggapi. Aya juga tidak seperti menunggu jawabanku. Tiba-tiba ponselku bergetar.
Tian: senyum dong
Tian: lo nyeremin tau kalo kayak gituAku mendongak, melihat Tian menatapku di antara jajaran anak-anak IPS. Jasnya tampak belum dipakai, masih bertengger di bahunya.
Amara: bawel
Tian: galak :(
Amara: kayak baru pertama kali aja
Tian: BELOM KEBIASA
Tian: btw foto yuk nanti
Tian: cakep lo hari iniAmara: buaya
Tian: iya dah apa kata lo
Tian: capek gue dibilang buaya muluAmara: iya
Tian: iya apa?
Amara: iya ayo foto
Tian: EH SUMPAH?
Tian: nggak nyangka lo mau?!
Tian: eh ajg gue senyum-senyum nggak ya iniAmara: bego
Aku tersenyum sedikit, menjulurkan lidahku ke arah Tian sebelum memasukkan kembali ponselku ke tas. Kami masuk ballroom hanya beberapa menit setelahnya, berurutan dari IPA 1 sampai IPS 3. Lalu kami duduk di kursi yang disediakan, berdasarkan absensi kelas.
Di depanku, harusnya duduk Satria.
Aku beberapa kali menatap kursi kosong itu sedikit lebih lama dari yang seharusnya. Saat nama Satria dipanggil, tidak ada yang berjalan naik panggung. Pidato dari OSIS harus dibawakan Aya sebagai wakil. Saat nama-nama yang menduduki peringkat 10 besar angkatan dipanggil, tidak ada yang berjalan ke atas panggung saat peringkat 1 dan 2 dipanggil. Tidak ada yang menjawab panggilan nama Satria dan Aleric.
Satria dan Aleric....hilang. Dan rasanya sesak.
"Ayo, Mar!" Tian tampak menghampiri. Aku mengangguk, mengulurkan tangan minta dibantu untuk berdiri. Ia berdecak. "Jompo,"
"Ngajak ribut,"
Ia tertawa. "Pon, fotoin dong, Pon!" panggilnya pada Apon. Nama aslinya Reza, aku bahkan lupa kenapa ia dipanggil Apon yang jelas-jelas tidak ada Reza-Rezanya.
"Satu dua tiiiiga. Satu dua tiiiiga." Apon kemudian mengembalikan ponselnya. "Nih,"
"Yah, kagak kerasa, Pon. Sekali lagi dah,"
"Mau kerasa gimana, anjing? Di kamera gue tempel muka lo baru kerasa,"
"Dih ngegas," Tian mencibir. "Sekali lagi."
Apon menurut. Satu foto lagi diambil, sebelum Apon benar-benar melangkah menjauh. "Ini kelulusan, tapi lo suram banget, Mar." Tian terkekeh kecil. Aku hanya mendengus.
"Besok kita ke Aleric, mau?" tawarnya. Selama waktu kosong menuju wisuda ini, aku dan Tian memang sudah beberapa kali pergi ke rumah Satria atau Aleric. Aku sebenarnya mau pergi sendiri, tetapi Tian yang memaksa mengantarkan.
"Kita udah berapa kali ke Aleric atau Satria, nggak ada hasilnya, Yan."
"Nggak apa-apa, coba lagi. Jangan nyerah dong, ayo."
Aku kemudian menghela napas. "Iya,"
KAMU SEDANG MEMBACA
all type of love
Ficção GeralDelapan tahun lalu, di Jakarta. Amara, Satria, dan Aleric.